AUFKLARUNG FOR ALL
Silahkan ketik berita yang anda inginkan di kolom ini.

Selamat Datang di Aufklarung For All "Pencerahan Untuk Semua".

Informasi yang ada dalam blog ini semata-mata sebagai bentuk penyampaian uneg-uneg dan aspirasi. Semoga bisa menambah pengetahuan kita dan memberikan inspirasi kepada siapa pun yang membaca blog ini. Tulisan tidak akan lekang oleh waktu, satu goresan pena akan mampu merubah dunia bila kita menyadarinya. Semoga bermanfaat!

Sabtu, 01 Maret 2008

Sejarah Hanya Romantika

Menarik sekali membaca tulisan dari Wawancara dengan Tokoh Sejarahwan yang satu ini, gaya bicaranya yang lugas, ceplos dan penuh makna. Tulisan ini saya sadur dari harian Tempo. Jadi terima Kasih harian Tempo. dan bagi anda silahkan baca informasi di bawah ini.



Anhar Gonggong "Sejarah Kita Cuma Romantika"ADA kata bijak: sejarah adalah guru kehidupan. Tapi, pelajaran sejarah di sekolah kita justru membingungkan. Sejumlah fakta sejarah, yang sempat "hilang" dalam kurikulum di masa rezim orde baru, kini menjadi problem. Bahkan, para guru sejarah pun banyak yang mengeluh, betapa sulit menerangkan kepada murid tentang sejarah Indonesia kontemporer. Misalnya saja, peran Soeharto dalam peristiwa 1965, jatuhnya Orde Baru dan
sebagainya. Karena itulah, pelajaran sejarah mengalami "reformasi".

Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional saat ini menggodok perubahan materi pelajaran sejarah. Suplemen khusus dibuat, agar para guru bisa menjawab pertanyaan murid di depan kelas. Bahkan, ada rencana untuk merombak sebagian materi pelajaran sejarah. "Kita harus berani menulis ulang sejarah sebagai bangsa Indonesia," ujar Dr Anhar Gonggong, Direktur Sejarah dan Meseum, Departemen Pendidikan Nasional.
Anhar adalah salah satu sejarawan yang terlibat dalam draft perubahan penulisan pelajaran sejarah. Mantan guru SMA di Lampung pada 1960-an ini punya pengalaman banyak tentang bagaimana mengajarkan pelajaran sejarah. Menurut dia, sebagai bangsa, kita sedang mengalami proses dahsyat untuk "menjadi" Indonesia. Karena itu, pekan lalu wartawan TEMPO Interaktif Nezar Patria, menemui doktor sejarah lulusan Universitas Indonesia itu untuk sebuah wawancara. Berikut petikan wawancara yang dilakukan di ruang kerjanya, di Gedung Depdiknas, Jalan Sudirman, Jakarta.
Materi pelajaran sejarah di sekolah kita akan dirombak. Mengapa?
Selama periode tertentu, pelajaran sejarah kita dijadikan alat penopang kekuasaan. Ada materi tertentu yang masih kontroversial, tapi digunakan dan harus masuk kurikulum karena untuk kepentingan kekuasaan. Misalnya ada kontroversi tentang Supersemar, dan banyak lagi.
Sebenarnya, jika kita mau mempelajari sejarah untuk pendidikan, harus ada semacam konsensus. Pertama, untuk apa sejarah kita pelajari. Dalam pengertian pendidikan, sejarah harus diberikan di depan kelas sebagai sejarah dalam pengertian ilmu, tidak dalam pengertian alat politik. Memang, dalam perkembangannya, akan dibicarakan juga sejarah politik.
Misalnya, sejarah kita sebagai bangsa Indonesia, begitu?
Betul. Misalnya, jika saya terangkan bangsa Indonesia dalam artian ilmu, akan saya terangkan proses perubahan zaman, dari gerakan organisasi rakyat sampai hal-hal lain. Tapi, saya tidak menerangkan hal itu dalam kerangka politik, namun diterangkan dalam kerangka ilmu. Hal ini yang sering disalahpahami orang.
Seharusnya apa yang diajarkan di depan kelas itu, adalah yang disebut accepted history, sejarah baku yang sedikit sekali dipertengkarkan orang. Sehingga, apa yang diajarkan guru di depan kelas adalah apa yang disebut "kepastian sejarah". Jadi, orang tak perlu lagi mempertengkarkan, misalnya, Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Siapa yang mengambil inisiatif dalam peristiwa itu, apakah Sultan Hamengkubuwono IX atau Soeharto.
Kalau masih ada bagian yang dipertengkarkan, sebaiknya jangan diterangkan (di depan kelas). Kita bisa menjelaskan kepada murid tentang proses serangan itu, dan maknanya dalam mempertahankan kemerdekaan, merebut kembali ibukota republik. Jadi, tidak ada persoalan peranan Soeharto yang hebat, atau Sultan yang hebat. Persepsi semacam ini harus juga dipahami oleh guru.
Tentang pelajaran sejarah yang masih kontroversial, apa pengaruhnya kepada murid?
Cukup besar. Saya pernah mengadakan observasi soal ini. Ada seorang murid yang datang kepada saya dan mengatakan kalau dia mau berhenti belajar sejarah. Menurut dia, isi pelajaran sejarah adalah kebohongan melulu. Bahkan ada seorang sarjana sejarah, yang menyampaikan hal yang sama kepada saya.
Yang menyulitkan bagi guru adalah ketika terjadi perubahan rezim. Murid tak percaya lagi pada isi buku sejarah. Padahal, si guru harus tetap menerangkan sebagian isi terpenting dari buku itu. Ini satu faktor yang menyulitkan guru kan? Pada anak didik, dampaknya adalah mereka menjadi anti sejarah.
Selama tiga puluh tahun, sejarah kita digambarkan sebagai sebuah romantika. Jadi, yang disampaikan adalah romantika sejarah. Sekali lagi, bukan sejarah sebagai ilmu.
Apa bedanya sejarah sebagai ilmu, dan sebagai romantika?
Itu dua hal yang berbeda. Pada romantika sejarah, yang digambarkan adalah kebesaran simbolis. Sedangkan pada sejarah sebagai ilmu, yang disampaikan adalah fakta. Kebenaran faktual. Ini dua hal yang berbeda.
Sejak 1959, yang digambarkan dalam sejarah kita adalah romantika sejarah. Politikus zaman Soekarno juga menganut romantika sejarah. Tetapi, pelajaran sejarah masa itu tetap faktual.
Di zaman orde baru berbeda. Penguasanya bicara tentang romantisme sejarah. Yang diajarkan ke dalam kelas sebagian tertentu juga romantika sejarah. Contohnya, Serangan Umum 1 Maret, disimbolkan sebagai sesuatu yang hebat, untuk menghebatkan posisi Soeharto. Ini personalisasi sejarah, dalam kaitan romantisme sejarah.
Waktu saya belajar sejarah, guru saya dulu menganjurkan baca dua buku. Pertama, buku Sejarah Lima Zaman yang ditulis Soetjipto Wirosoeprapto. Lalu, buku karangan Anwar Sanusi. Kalau dibandingkan dengan buku teks pelajaran sejarah produk sekarang, menurut saya lebih baik buku yang dulu, yang saya pelajari pada 1960-an.
Jadi, buku sejarah kita punya kesalahan yang gawat, begitu?
Ya. Itu sebagian karena kesalahan penulisan sejarah. Penulis sejarah sekarang tidak bebas menulis. Dia mengambil dari kurikulum, catur wulan pertama yang harus diajarkan, misalnya, bagian ini. Ada ketidakbebasan disamping ketidakmengertian penulis.
Sejarawan Taufik Abdullah pernah marah-marah di kantor saya. Kami kumpulkan semua buku sejarah dari SD sampai SMA. Kalau kekeliruannya sebatas interpretasi tak masalah. Tapi kalau kesalahan faktual kan itu kacau. Misalnya soal peranan tokoh pergerakan seperti Sjahrir, Tan Malaka. Bahkan Tan Malaka tak boleh disebut. Hal semacam itu kan cukup susah. Kalau fakta sudah salah tak ada gunanya belajar sejarah. Buku seperti itu tak berhak lagi diajarkan di depan kelas.
Hal itu terjadi karena ada kolusi antara Dikdasmen, perbukuan dan percetakan agar buku itu laris. Yang menentukan sebuah buku pelajaran sejarah di sekolah laris atau tidak itu kan Dikdasmen. Bahkan kepala sekolah ikut main. Lalu penerbit terkadang langsung masuk ke sekolah itu.
Maksudnya, kolusi itu turut mempengaruhi isi pelajaran sejarah?
Bukan mempengaruhi. Tapi kesalahan yang ada tak pernah diperiksa kembali. Akibatnya kesalahan direproduksi terus. Ini artinya, menyangkal tujuan pengajaran sejarah untuk menempatkan sejarah sebagai ilmu. Yang diajarkan dalam buku teks itu cuma sejarah sebagai masa lampau. Bukan masa lampau dalam pengertian ilmu sejarah. Ini akan merusak pemahaman sejarah. Dan, artinya ikut juga merusak republik. Ketika masyarakat salah memahami sejarahnya, maka dia akan kesulitan berbicara tentang dirinya sendiri.
Artinya, selama ini murid tidak belajar sejarah, tapi menghafal sejarah…
Ya, akhirnya begitu. Ambil contoh ketika saya menjadi guru sejarah di Lampung. Ada hal menarik. Waktu itu diajarkan bahwa semua yang mendukung Belanda adalah pengkhianat. Soal peran Sultan Hasannuddin, dimana waktu itu Arupalaka perang melawan Belanda. Maka, dalam gambaran kita, Hasanuddin pahlawan, sedangkan Arupalaka adalah pengkhianat. Pokoknya siapa saja yang mendukung Belanda adalah pengkhianat. Konteks waktunya, abad 17, 18, 19. Ini sesuatu yang ahistoris dalam pengertian Indonesia. Padahal ketika Arupalaka berhadapan dengan Hasanuddin, yang berhadapan adalah dua raja dalam konteks waktu itu. Jadi yang berperang bukanlah seseorang yang ingin menegakkan Indonesia, berhadapan dengan orang lain yang ingin mempertahankan penjajahan.
Waktu saya mengajar, saya tak pernah bilang Arupalaka itu pengkhianat. Saya gambarkan, bahwa ini ada dua kerajaan di Sulawesi Selatan yang saling bertengkar. Lalu, seorang raja mendapat bantuan dari pasukan Belanda, dan kemudian Sultan Hasanuddin mempertahankan kerajaan Gowa berhadapan dengan Arupalaka dan Belanda. Tapi, harus diingat, waktu itu Bone dijajah oleh Gowa. Jadi, murid harus diberikan konteks waktu berikut segala permasalahan historis yang terjadi. Jangan dibawa permasalahan abad 17 ke abad 20, seakan kondisi historis kedua abad itu sama. Ini kesalahan pengajaran sejarah. Saya sepakat bila hal itu dimaksudkan untuk kepentingan nasionalisme. Tapi, kan tidak perlu dengan cara seperti itu. Memberikan interpretasi salah terhadap sejarah untuk menanamkan kesadaran nasionalisme. Itu saya kira tak perlu.
Kalau begitu, sejarah lokal harus dihidupkan kembali?
Betul. Kesalahan kita selama ini adalah beranggapan bahwa Indonesia telah selesai. Padahal Indonesia adalah konsep baru. Tapi, kita sering menariknya ke belakang, ke Majapahit, Sriwijaya. Seakan-akan itu kesinambungan Indonesia. Saya kita itu keliru. Paling tidak secara konseptual, Indonesia itu adalah suatu hal yang baru sama sekali.
Indonesia diciptakan oleh orang terpelajar lokal. Budi Oetomo pada awalnya kan perkumpulan Jawa. Lalu kemudian ada Jong Celebes, Jong Batak. Mereka ini yang berdialog. Saya bukan apa-apa kalau saya baik Jong Celebes, maupun Jong Batak berhadapan dengan Belanda. Supaya menjadi bermakna, terjadi dialog dari kaum intelektual muda yang cerdas dan tercerahkan.
Nah, kaum tercerahkan ini berdialog, mencari siapa dirinya. Jadi ada keraguan pada entitas lokal, ketika berhadapan dengan orang lain. Bahkan dengan dirinya sendiri. Dialog itu terus terbangun sampai dengan 28 Oktober 1928. Artinya, Indonesia itu adalah konsep baru yang lahir dari dialog. Kenapa saya mau menjadi Indonesia? Karena saya mempunyai identitas dan tujuan baru untuk hidup bersama.
Tujuan hidup bersama itu, dalam konteks bangsa yang lebih besar, adalah kehidupan yang lebih baik di masa depan. Nah, dalam proses ini perlu sebuah negara yang juga merdeka. Jadi, ada dua tahap yang harus kita lewati secara konseptual. Tahap pertama adalah proses berdialog menjadi bangsa, setelah kita menemukan identitas diri kita. Kemudian, kemudian ketika tahun 1945 kita menegakkan sebuah proklamasi, bangsa ini juga menegakan sebuah negara.
Tentu saja negara itu berbeda dengan negara Majapahit, bangsa yang dibangun tidak sama dengan bangsa Jawa. Ini adalah sebuah konsep baru, menjadi bangsa. Negara juga sebuah konsep baru. Artinya, karena Indonesia adalah sesuatu yang baru, maka ia harus berdialog terus. Disinilah fungsi pemerintahan. Yang salah selama ini adalah ketika kita merdeka, ruang dari orang-orang merdeka ini tertutup. Setidaknya, sejak tahun 1959.
Maksudnya?
Ada salah pengertian. Ini termasuk kesalahan ABRI. Anda kan tahu, masa itu dan sesudahnya tidak ada lagi dialog tentang bentuk negara. Kalau bicara tentang bentuk negara federal, maka yang dibicarakan sisi negatifnya. Katanya, itu konsep bentukan penjajah dan alat Belanda. Padahal kalau diterapkan dalam tata negara, konsep federal adalah sesuatu yang netral. Tak ada urusan dengan penjajah dan yang dijajah. Kalau sekarang saya katakan, pada negara kesatuan yang menjajah saya adalah Jakarta, bukan Jawa. Kita mau bilang apa, karena faktanya memang begitu.
Anda lihat, kita punya lembaga politik modern seperti Presiden, DPR, dan sebagainya. Tapi mental kita masih tertinggal di abad belakang. Jadi, mental kita mental warisan, bukan mental negara merdeka. Itu yang menyebabkan mengapa akhirnya tarikan dari mental masyarakat warisan ini masih sangat kuat. Sehingga ketika kita hendak melangkah untuk berdialog dan mengatakan Indonesia sebagai konsep baru yang dinamis, maka yang terjadi adalah represi. Apa kita tidak perlu melakukan redefinisi tentang Indonesia, tentang hidup bersama dan merdeka. Faktanya saat ini, Aceh, Irian dan juga Riau sudah seperti itu. Ini pertanda kita harus berpikir kembali secara historis, meredefinisikan masa lampau kita untuk tujuan masa depan.
Lalu, sejarah lokal itu akan diajarkan juga di sekolah?
Ya. Kesalahan kita sekarang adalah adanya keterpisahan. Kalau orang Sunda tahu sejarah nasional, maka tidak tahu lokal. Ada pembalikan pemikiran. Terutama sejak pelajaran sejarah dipaksakan bahwa bentuk negara terbaik bagi bangsa ini adalah negara kesatuan, dan itu dipaksakan dengan represif. Akhirnya, sejarah lokal dilupakan. Karena kalau sejarah lokal dikembangkan, dikhawatirkan akan mengembalikan kejayaan masa lampau per lokal. Orang lupa bahwa bahwa proses kita itu bhineka, baru tunggal ika. Ketika penataran P4, kenyataan itu dibalik. Seakan-akan tunggal ika dulu, baru bhineka. Akibatnya, bhinekanya dibunuh, sedangkan tunggal ikanya dihidupkan.
Artinya, selama ini paradigma nasional dipaksakan dalam melihat problem lokal?
Benar. Itu yang salah sama Aceh dan Irian. Harus kita pikirkan dulu meletakkan Aceh dan Irian itu dalam kerangka bangsa, dalam pengertian konseptual Indonesia. Dalam proses ini, kita menyatakan pada orang Aceh, anda harus ingat, anda ikut dialog disini. Sebagai contoh saya bisa mengatakan pada orang Aceh tentang Daud Beureueh.
Ada satu peristiwa yang dilupakan orang pada Daud Beureueh. Orang cuma mempersepsikan Daud Beureueh sebagai pemberontak, yang ingin mendirikan negara Islam di Aceh. Tapi mereka lupa bahwa, ketika Daud Beureueh dikirimi surat oleh Teungku Mansyur untuk mendirikan Negara Sumatera, Daud Beureueh mengatakan "Kami tak akan melakukan itu, karena kami adalah bangsa Indonesia dan bertegak di belakang Republik Indonesia". Jadi orang seperti Daud Beureueh itu adalah seorang Republiken tulen. Tapi orang melupakan itu, dan cuma mengingat pemberontakan yang dilakukannya pada tahun 1952. Tapi, harus diingat, negara Islam yang hendak didirikan itu tetap berada dalam konsep Indonesia, mereka menyebutnya Negara Islam Indonesia.
Kembali ke soal pelajaran sejarah. Apa saja materi sejarah yang akan dirombak?
Kita akan menampilkan peranan tokoh sejarah sesuai dengan perannya. Misalnya orang terlalu takut menyebutkan, walau selintas, pemberontakan PKI terhadap Belanda tahun 1926. Padahal faktanya memang demikian. Contoh lain, orang tak mau menyebut dalam susunan kabinet pertama kita, itu macam-macam orang masuk disana, termasuk PKI. Antara 1945-1949 PKI masuk kabinet, dan Hatta mentolerirnya. Bahkan kalau benar Amir Syarifudin itu anggota PKI, malah dia pernah menjadi Perdana Menteri kita. Tapi, dalam pelajaran sejarah kita itu tak pernah dianggap ada, dan tidak disebut-sebut. Ini namanya penyangkalan sejarah. Ini yang sesungguhnya terjadi dalam pelajaran sejarah kita. Kalau anda baca studi kritis yang dibuat oleh Neils Mulder, akan sangat terlihat bagaimana pelajaran sejarah di sekolah telah menjadi alat kekuasaan, alat politik.
Lalu, bagaimana memisahkan antara sejarah dan politik?
Anda tak bisa memisahkan antara sejarah dengan politik. Apalagi jika sejarah itu berkaitan dengan eksistensi kita sebagai bangsa, pasti bersinggungan dengan politik. Namun, tidak berarti sejarah akan dijadikan sebagai alat politik. Tapi, untuk memahami bagaimana pergumulan politik itu berproses menjadi bangsa. Semua bangsa menggambarkan proses itu dalam sejarah nasional mereka. Yang tidak boleh adalah mempolitikkan sejarah. Anda bicara tentang sejarah politik, tapi jangan dibalikkan menjadi mempolitikkan sejarah. Itu sangat berbeda.
Ada yang bilang, pelajaran sejarah kita didominasi para elit saja …
Ya. ada teori yang bilang bahwa siapa sih sebenarnya yang membuat sejarah. Seperti misalnya, Thomas Carlyle, mengatakan bahwa sejarah itu adalah kisah para tokoh, kaum pahlawan. Tafsiran dari negara sosialis mengatakan bahwa yang menggerakkan sejarah adalah rakyat. Padahal, keduanya tak mutlak. Menurut saya, kita harus melakukan seleksi dalam mengajarkan sejarah. Peristiwa mana saja yang akan kita ajarkan, seperti yang dimaksud dengan prinsip accepted history itu tadi.
Sejarawan Prancis, Dennys Lombard, menulis secara kontroversial peran Sultan Iskandar Muda di Aceh. Apakah sejarah itu bisa diajar di depan kelas?
Itu tergantung bagaimana kita memilah. Di situlah kaitan antara ilmu sejarah sebagai ilmu dan kepentingan untuk "menjadi bangsa". Secara metode, fakta yang ada di dalam untuk membangsa ini tak perlu dipertentangkan. Karena fakta itu diterangkan secara benar, sambil memberi penafsiran tertentu untuk membangsa itu tadi. Maka jika anda hubungkan antara Lombard dengan apa yang teringat secara pikiran kolektif rakyat Aceh tentang kerajaan Sultan Iskandar Muda, tidak perlu dipertentangkan.
Artinya begini, kita pelajari Lombard, tetapi kita menangkap suasana yang ada dalam masyarakat itu. Yang diajarkan di depan kelas adalah fakta benar yang mungkin dikemukakan oleh Lombard. Fakta itu kita terangkan. Namun, pada saat yang sama, kita harus pandai mengatakan bahwa fakta itu berhadapan dengan nuansa berbeda, yang ada dalam pikiran kolektif masyarakat setempat. Kesulitannya adalah jika guru sejarah tidak punya wawasan. Ketika dia hanya mengajarkan textbook di hadapan murid, maka dia menghadapi kesulitan besar. Di sini pentingnya seorang sejarawan, juga harus menjadi seorang ilmuwan sosial.
Kapan materi pelajaran sejarah kita akan ditulis ulang?
Saya sedang bicarakan sama Pak Taufik (sejarawan Taufik Abdullah—red). Mungkin tahun 2001 kita mulai menulis ulang. Ini pekerjaan rumit. Tujuannya agar orang jangan salah mengerti dengan pelajaran sejarah, sehingga setiap ganti rezim, pelajaran sejarah juga berganti. Padahal sebagai ilmu, sejarah bisa kita ajarkan kapan saja. Penulisan ulang hanya dibutuhkan jika ada data baru, yang bersumber dari arsip dan keterangan benar orang tertentu yang mengalami persoalan itu. Jadi sejarah memang bisa ditulis ulang dalam jangka waktu tertentu, tapi kita harus bikin riset untuk menemukan data baru.*


0 comments:

Beasiswa Pascasarjana

http://www.beasiswapascasarjana.com/2012/03/beasiswa-s2-guru-kepsek-dan-pengawas.html

Kemdikbud

Informasi tentang pendidikan, seputar Beasiswa dan perkembangan pendidikan di Indonesia

Detik.com

Apa Anda Termasuk orang yang cerdas?

Bila anda merasa sebagai bagian orang-orang yang cerdas, apa yang akan anda lakukan dengan kecerdasan anda tersebut?
Apakah akan anda gunakan kecerdasan anda tersebut untuk kebaikan umat manusia, atau hanya untuk anda sendiri atau malah untuk mencelakai manusia lainnya?
Silahkan kirimkan koment anda! Pro ataupun kontra, akan kami tampung sebagaimana kami menghargai kecerdasan sebagai sebuah misteri yang akan selalu ada di dunia ini.

Post Populer

About This Blog

Blog ini dibuat dengan kesengajaan, memang di rekayasa sedemikian rupa dengan tujuan membuat para pembaca tertarik, ikut memberikan sumbangan pemikiran demi kemajuan bersama.
Segala macam isi yang ada dalam tiap halaman blog ini diluar tanggungjawab admin.
Author menerima kritik dan masukan demi perbaikan blog ini.
Selamat berselancar

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP