AUFKLARUNG FOR ALL
Silahkan ketik berita yang anda inginkan di kolom ini.

Selamat Datang di Aufklarung For All "Pencerahan Untuk Semua".

Informasi yang ada dalam blog ini semata-mata sebagai bentuk penyampaian uneg-uneg dan aspirasi. Semoga bisa menambah pengetahuan kita dan memberikan inspirasi kepada siapa pun yang membaca blog ini. Tulisan tidak akan lekang oleh waktu, satu goresan pena akan mampu merubah dunia bila kita menyadarinya. Semoga bermanfaat!

Kamis, 05 Desember 2013

HISTORY AS FACT & HISTORY AS WRITEN (Sejarah Sebagai Fakta dan Sejarah Yang Tertulis)



A.    History as Facts (Sejarah Sebagai Fakta)
   Obyektifitas Sejarah
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau merupakan materi yang sangat penting bagi ilmu sejarah. Melalui peristiwa-peristiwa tersebut, ilmu sejarah mendapat suatu gambaran tentang kehidupan manusia pada masa lampau, atau dapat mengetahui sebab-akibat terjadinya suatu peristiwa. Namun tidak semua peristiwa sejarah mempunyai bukti yang tertulis, ada pula yang berasal dari bukti lisan maupun benda-benda peninggalannya.
Istilah History as Facts dapat disederhanakan sebagai kenyataan yang sedang berlangsung dan History as Writen adalah
sejarah yang ditulis.  Pengabadian sejarah serba objek terdapat dalam sumber sejarah meskipun serba tidak sempurna. Seolah-olah sumber-sumber itu merupakan gudang, bahan sejarah. Sejarah sebagai kenyataan (serba-objek) hanya dapat diketahui dengan mempergunakan bahan yang tersimpan di dalam gudang itu. Tanpa pengabadian, tanpa sumber-sumber sejarah tidak mungkinlah sejarah serba-objek atau sejarah yang sebenarnya dapat diungkap artinya (Ali, 2005: 21).
Berbicara tentang Sejarah sebagai fakta dan sejarah yang tertulis berarti kita membicarakan tentang Sumber Sejarah. Dasar dari penggunaan sumber sejarah adalah cita-cita mencari kebenaran tentang kejadian peristiwa yang sudah terjadi. Penggunaan itu harus menghasilkan ketentuan-ketentuan tentang kejadian-peristiwa atau ketentuan tentang Facts atau fakta. Sudah barang tentu fakta yang didapatkan dari sumber-sumber sejarah adalah benar apabila sumber-sumber itu sendiri benar. Benar dalam arti dapat dipercaya, tidap palsu, atau shahih, yaitu tidak ada cacatnya, sehat atau kurang suatu apa pun(Ali, 2005: 22).
Sebagai contoh, di Muara Kaman (Kalimantan Timur diketemukan beberapa buah prasasti (batu tulis). Penyelidikan pertama diarahkan kepada yang shahih yaitu dengan cara memeriksa bentuk huruf serta isi cerita yang dituliskan pada batu itu. Bentuk huruf pada prasasti itu menunjukkan abad ke-5 Masehi sebagai masa dibuatnya prasasti itu. Isi prasasti itu melukiskan adat kebiasaan yang lazim pada abad itu. Maka, berdasarkan persamaan itu prasasti tersebut dapat dipercaya.
Penyelidikan tentang sumber-sumber sejarah adalah suatu keharusan ilmiah sebelum isi sumber-sumber itu diselidiki dan akhirnya dipergunakan. Setelah kebenaran suatu sumber terbukti, timbullah masalah cara mempergunakan sumber itu. Apakah yang dapat kita ketahui dan apakah sumber tersebut dapat dipergunakan? Fakta apakah yang dapat kita himpun dari sumber itu?
Pencarian sumber sejarah ditentukan oleh minat dan perhatian orang pada suatu zaman. Oleh sebab itu, sumber-sumber itu hanya terbatas pada beberapa pokok tertentu. Isi itulah yang harus diambil inti sarinya sebagai fakta.
Apabila sumber sejarah merupakan pengabadian sebagian kecil dari keseluruhan kejadian dan peristiwa yang betul-betul pernah terjadi maka apakah Fakta sejarah itu?. Fakta sejarah adalah intisari dari sumber-sumber sejarah, fakta-fakta itu disimpulkan dari sumber-sumber sejarah. Fakta sejarah adalah peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi. Tinggal bagaimana seorang sejarawan memaknainya (Ali, 2005: 25)
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita memaknasi sejarah sebagai fakta? Dan bagaimanakah kita memaknai sejarah sebagaimana yang tertulis?

B.  History As Writen (Sejarah Sebagaimana Yang Tertulis)
Suatu fakta sejarah tidak akan bermakna, jika peristiwa yang terjadi hanya ditulis apa adanya. Menurut Moh. Ali fakta-fakta sejarah yang belum diberi rangka daging dan jiwa sejarah belum bisa dikatakan sebagai sejarah. Fakta-fakta sejarah tersebut belum merupakan sejarah dalam arti yang sebenarnya sebab fakta-fakta itu sebenarnya hanya bahan mentah yang harus dimasak terlebih dahulu. Jika suatu peristiwa sejarah hanya ditulis sebagaimana adanya maka peristiwa tersebut belum memiliki arti.(Ali, 2005: 27)
Ø  Subyektifitas Penulis
Wujud sejarah serba-obyek adalah cerita, yaitu cerita yang menghubungkan  fakta-fakta itu sedemikian rupa sehingga terdapatlah suatu keseluruhan atau kesatuan. Kesatuan fakta-fakta itu dihimpun menurut pendapat penyusun. Adapun pendapat penyusun itu sendiri sebenarnya merupakan pendiriannya  sebagai seseorang yang mempelajari sejarah.
Dalam penulisan sejarah, kemampuan seorang sejarawan (penulis sejarah) sangat diutamakan. Karena dari coretan tangan dan buah pikirannya yang mendalam akan tersajikan cerita sejarah yang bermakna, menarik dan menimbulkan keinginan orang untuk membaca hasil karya sejarah tersebut hingga usai. Suatu peristiwa atau fakta sejarah yang sama, mungkin akan lain ceritanya karena yang menulis berbeda.
Subyektifitas penulis menentukan tulisan sejarah tersebut. Seolah-olah penyusun cerita itu berdiri pada suatu tempat tertentu dan dari tempat itu ia melihat dan meninjau kejadian-peristiwa yang terdapat di dalam fakta-fakta itu. Tempat di mana ia berdiri itu menentukan sifat-sifat apa yang terlihat olehnya.
Hal-hal pokok yang dapat menjadikan subyektifitas penulis dalam menyusun cerita sejarah adalah sebagai berikut:
1)      Daerah, yaitu negeri (kebangsaan), wilayah (propinsi dan sebagainya), alam (pegunungan, tanah datar, pedalaman atau kawasan pantai)
2)      Golongan, yaitu termasuk bangsa apakah penjajah, terjajah, negara-negara besar atau negara kecil, suku, partai atau agama
3)      Zaman, yaitu dalam abad keberapakah penulis itu hidup
4)      Kepribadian, yaitu asal-usul, pendidikan dan lingkungannya.
Gabungan dari pokok-pokok 1, 2, 3, dan 4 itu menentukan pendirian seseorang dalam arti seluas-luasnya. Maka jelaslah bahwa Daerah asal, golongan, zaman dan kepribadian penyusun menentukan bentuk dan isi cerita. Betapa pun besar usaha orang untuk menulis dengan sejujur-jujurnya, ia tidak mungkin membuat lukisan sejarah yang seratus persen jujur (Ali, 2005: 61)

Ø  Obyektifitas Subyektif
Dapatkah seorang penulis cerita sejarah menyusun cerita yang obyektif, yaitu suatu cerita yang menceritakan segala hal-ihwalnya dengan setepat-tepatnya laksana film yang sempurna?. Obyektif laksana cermin yang dapat memberikan gambaran yang sama sekali tidak berbeda. Sejarah yang obyektif dalam arti ini adalah melukiskan fakta-fakta sejarah sedemikian rupa sehingga tercapailah kenyataan “Demikianlah sesungguhnya yang terjadi!”.
Apa yang tertulis dalam cerita sejarah sebenarnya merupakan sebagian dari penggalan cerita yang sebenarnya terjadi pada masa lalu. Manusia sebagai penyusun sejarah tidak mungkin memasukkan semua fakta sejarah ke dalam tulisannya. Seorang sejarawan pasti telah memilah atau menyeleksi berdasarkan minat perhatiannya sehingga menjadikan sejarah yang seharusnya serba-obyek justru tidak tampak.
Maka kita bisa mengatakan bahwa tidak ada sejarah yang obyektif, karena memang sudah semestinya sejarah itu subyektif yaitu menurut pandangan penyusunnya. Subyektif dalam arti tertentu yaitu lukisan sejarah yang memiliki jiwa yang mempunyai kepribadian yang kuat. Seringkali subyektif dipersamakan dengan fantasi, khayalan, isapan jempol, pemalsuan.   Cerita-cerita sejarah yang dipandang obyektif sebenarnya bukan cerita yang mengandung gerak jiwa yang bergelora dan menarik, bahkan sekadar suatu daftar waktu, suatu tabel atau rangkaian tahun dan fakta. (Ali, 2005: 63)
Subyektif dalam arti yang sebenarnya berdasarkan kejujuran yaitu hajat dan tekat tidak akan berlaku curang, tidak menipu, menyatakan sesuatu sebagai konsekuensi keyakinanya. Dengan demikian dalam penulisan sejarah diperlukan sikap serba tidak berat sebelah meskipun obyek yang dipilih adalah sudah menunjukan subyektifitas dari penulis itu sendiri.
Sikap jujur itu hanya mungkin apabila teropong pendirian itu dilengkapi dengan lensa kejujuran dan disertai alat lain yakni “mikroskop penelitian” untuk menelaah, meneliti, menggali dengan sesempurna, seteliti, sehalus dan setajam mungkin dengan maksud mendapatkan fakta yang sebenarnya dan sebanyak-banyaknya.

Ø  Manipulatif
Sejarah yang manipulatif itu sejarah yang seperti apa? Apakah sejarah yang apa adanya? Ataukah sejarah yang serba menghilangkan fakta? Artinya fakta sebenarnya ditutupi diganti dengan fakta lain? ataukah fakta sejarahnya sama akan tetapi pemaknaannya berbeda karena tujuan tertentu?
Jawaban yang mungkin paling mendekati kebenaran adalah fakta sejarah atau peristiwa yang ditulis adalah nyata, riil karena sudah berlalu. Tetapi tujuan dan penulisannya yang berbeda. Sebagai contoh, peristiwa G30S/PKI yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Jelas telah terjadi manipulasi atau pembalikan fakta tentang kejadian itu. Masih banyak multi-tafsir tentang peristiwa berdarah yang menewaskan tujuh jenderal tersebut. Siapa tokoh atau dalang dibalik peristiwa tersebut? Siapa yang diuntungkan dari peristiwa tersebut? Siapa yang dikorbankan dalam peristiwa tersebut?. Dan pada akhirnya kita akan tahu seiring berjalannya waktu bahwa peristiwa tersebut menjadikan Jenderal Soeharto kemudian menjadi penguasa besar di Negeri ini.
Manipulasi sejarah biasanya digunakan oleh seorang penguasa suatu negeri untuk melanggengkan kekuasaannya. Membalikkan semua fakta yang terjadi sebenarnya untuk kepentingannya sendiri atau mungkin atas nama negara dan demi kepentingan kelangsungan kehidupan negara itu sendiri. Contoh lain adalah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Siapa sebenarnya tokoh intelektual dibalik serangan umum tersebut? Apakah Letkol Soeharto atau menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu yang juga raja Yogyakarta yaitu Sultan Hamengkubuwono IX?.
Sejarah dapat dimanipulasi itulah kenyataannya. Siapa yang melakukannya? Tentu penguasa melalui tangan-tangan penyusun sejarah (sejarawan) yang mungkin sudah dicekoki atau dipesan, di intimidasi untuk membuat cerita manipulasi tersebut. Meskipun Seorang sejarawan memiliki independensi akan tetapi jika ia dihadapkan kepada suatu kenyataan atau kekuasaan yang begitu besar maka kemungkinan manipulasi tersebut dapat terjadi.



Sumber Bacaan:
Ali, R. Moh. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LKiS

0 comments:

Beasiswa Pascasarjana

http://www.beasiswapascasarjana.com/2012/03/beasiswa-s2-guru-kepsek-dan-pengawas.html

Kemdikbud

Informasi tentang pendidikan, seputar Beasiswa dan perkembangan pendidikan di Indonesia

Detik.com

Apa Anda Termasuk orang yang cerdas?

Bila anda merasa sebagai bagian orang-orang yang cerdas, apa yang akan anda lakukan dengan kecerdasan anda tersebut?
Apakah akan anda gunakan kecerdasan anda tersebut untuk kebaikan umat manusia, atau hanya untuk anda sendiri atau malah untuk mencelakai manusia lainnya?
Silahkan kirimkan koment anda! Pro ataupun kontra, akan kami tampung sebagaimana kami menghargai kecerdasan sebagai sebuah misteri yang akan selalu ada di dunia ini.

Post Populer

About This Blog

Blog ini dibuat dengan kesengajaan, memang di rekayasa sedemikian rupa dengan tujuan membuat para pembaca tertarik, ikut memberikan sumbangan pemikiran demi kemajuan bersama.
Segala macam isi yang ada dalam tiap halaman blog ini diluar tanggungjawab admin.
Author menerima kritik dan masukan demi perbaikan blog ini.
Selamat berselancar

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP