AUFKLARUNG FOR ALL
Silahkan ketik berita yang anda inginkan di kolom ini.

Selamat Datang di Aufklarung For All "Pencerahan Untuk Semua".

Informasi yang ada dalam blog ini semata-mata sebagai bentuk penyampaian uneg-uneg dan aspirasi. Semoga bisa menambah pengetahuan kita dan memberikan inspirasi kepada siapa pun yang membaca blog ini. Tulisan tidak akan lekang oleh waktu, satu goresan pena akan mampu merubah dunia bila kita menyadarinya. Semoga bermanfaat!

Kamis, 19 Juni 2014

Bedah Teori: Hans Georg Gadamer


1.      Konteks Sosial
 Latar kehidupan Gadamer yang hidup di Jerman yang kala itu berada pada titik balik, dimana teknologi menjadi dewa dan keyakinan seluruh umat manusia sangat mempengaruhi kehidupan dan pemikirannya. Apa yang dicita-citakan oleh masyarakat Jerman pada saat itu adalah kemajuan dan kemakmuran dalam segala bidang, yang berkaitan dengan ilmu eksak. Ditambah lagi pada tahun 1929 dimana Nazi berkuasa juga menambah dan mempengaruhi pemikirannya. Namun, Gadamer tidak terpengaruh pada Nazisme, dan ia tidak aktif berpolitik selama Reich Ketiga, Gadamer pun tidak bergabung dengan Nazi.

Pada tahun 1946, ia ditemukan oleh pasukan pendudukan Amerika dan dianggap telah ternoda oleh Nazisme. Tingkat keterlibatan Gadamer dengan Nazi telah diperdebatkan dalam karya-karya Richard Wolin dan Teresa Orzoco. Orozco menuduh, dengan mengacu pada karya-karya Gadamer diterbitkan, bahwa Gadamer telah mendukung Nazi secara lebih dari yang seharusnya. Tetapi Gadamer telah menolak pernyataan ini, Jean Grondin mengatakan bahwa Orozco terlibat dalam "perburuan", sementara Donatella Di Cesare mengatakan bahwa "bahan-bahan arsip yang Orozco mendasarkan argumennya sebenarnya cukup diabaikan" Cesare dan Grondin berpendapat bahwa tidak ada jejak antisemitisme dalam karya Gadamer, meskipun Gadamer mempertahankan persahabatan dengan orang-orang Yahudi dan menyediakan tempat penampungan selama hampir dua tahun untuk filsuf Jacob Klein pada tahun 1933 dan 1934. Gadamer juga mengurangi kontaknya dengan Heidegger selama era Nazi.
Karena komunis Jerman Timur tidak sesuai dengan keinginan Gadamer dari Reich Ketiga, akhirnya ia berangkat ke Jerman Barat, menerima posisi pertama di Frankfurt Am Main dan kemudian ikut dalam suksesi Karl Jaspers di Heidelberg pada tahun 1949. Dia tetap di posisi ini, sebagai emeritus, sampai kematiannya pada tahun 2002 pada usia 102. Ia juga menjabat sebagai Penasihat Editorial jurnal Dionysius. Selama waktu ini, Gadamer menyelesaikan magnum opus-nya, Truth and Method (1960), dan terlibat dalam debat yang terkenal dengan Jürgen Habermas atas kemungkinan melampaui sejarah dan budaya dalam rangka untuk menemukan posisi yang benar-benar obyektif dari mana untuk kritik masyarakat. Perdebatan itu tidak meyakinkan, tapi menandai awal hubungan hangat antara dua orang pemikir ini.





2.      Pemikiran dan teori apa yang mempengaruhi
Gadamer dipengaruhi oleh metode fenomenologis Heidegger1 dan melihat makna sebagai pengalaman, peristiwa teraba yang terjadi dalam waktu dan antara subjek. Heidegger sendiri adalah murid dari Hussel2. Gadamer memelihara hubungan poststructural bahasa dalam hal ini adalah situs pengalaman manusia. Namun, dia tidak setuju dengan sikap poststructural atau deconstructivist bahwa ini menunjukkan kegagalan bahasa untuk dapat menyampaikan makna. Gadamer merasa bahwa ini adalah sumber bukan keberhasilan makna, dan ia berdebat pada titik ini secara langsung dengan Derrida. Gadamer berpendapat bahwa manusia adalah semua konstituen bahasa, yang tumbuh dan perubahan dengan kami, bahwa kita berada dalam bahasa sebagai bahasa dalam diri kita, dan hal ini membuat untuk pemahaman antara masyarakat dan seluruh sejarah.
Gadamer memulai kehidupan akademisnya mempelajari Plato dan Aristoteles dan filologi klasik dipertahankan pengaruhnya sepanjang karirnya. Dia adalah seorang pengagum penyair Jerman modern seperti Rilke, Stefan Geoge, dan Paul Celan. Dia merasa bahwa penyair adalah yang paling mampu memberitahu kita tentang iklim kontemporer budaya kita, dan bukan aktor-aktor politik. Dia melihat nilai budaya pada kemampuannya untuk menunjukkan kebenaran sebagai milik, diungkapkan oleh suara yang lain. Menjelang akhir hidupnya, Gadamer mulai mempelajari agama dengan penuh perhatian, berharap untuk membayangkan jalan menuju rekonsiliasi antara agama-agama dunia dan ketahanan terhadap visi mekanistik dan terasing dari takdir manusia.

1.      Martin Heidegger secara luas diakui sebagai salah satu filsuf yang paling asli dan penting dari abad ke-20, namun tetap menjadi salah satu yang paling kontroversial. Heidegger adalah murid dari Hussel. Pemikirannya telah memberikan kontribusi untuk berbagai bidang seperti fenomenologi (Merleau-Ponty), eksistensialisme ( Sartre , Ortega),  hermeneutika (Gadamer, Ricoeur), teori politik ( Arendt, Marcuse, Habermas), psikologi (Boss, Binswanger, Rollo May), dan teologi (Bultmann, Rahner, Tillich). Kritiknya terhadap metafisika tradisional dan penentangannya terhadap positivisme dan teknologi dominasi dunia telah dianut oleh teori terkemuka postmodernitas (Derrida, Foucault, dan Lyotard). Minat utama Heidegger adalah ontologi atau studi menjadi. Dalam risalah mendasar, Being and Time, ia mencoba untuk mengakses menjadi (Sein) dengan cara analisis fenomenologis eksistensi manusia (Dasein) dalam hal karakter temporal dan historis. Setelah perubahan pemikirannya, Heidegger menempatkan penekanan pada bahasa sebagai kendaraan melalui pertanyaan dimana keberadaan dapat dilipat. Dia berpaling pada penafsiran teks-teks sejarah, terutama dari Presocratics, tetapi juga dari Kant, Hegel, Nietzsche dan Hölderlin, dan puisi, arsitektur, teknologi, dan mata pelajaran lain. Alih-alih mencari klarifikasi penuh makna menjadi, ia mencoba untuk mengejar cara berpikir yang tidak lagi "metafisik." Dia mengkritik tradisi filsafat Barat, yang dianggap sebagai nihilistik, untuk, karena ia mengklaim, pertanyaan yang seperti itu dilenyapkan di dalamnya. Dia juga menekankan nihilisme budaya teknologi modern.


 
 
















Pada tahun 1923 Gadamer bertemu Husserl2 dan Heidegger di Frieberg. Tak lama kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg dan mulai belajar dengan Martin Heidegger. Saat itu Heidegger merupakan seorang sarjana muda dan belum memperoleh gelar profesor. Gadamer kemudian menjadi salah satu dari kelompok mahasiswa seperti Leo StraussKarl Löwith, dan Hannah Arendt. Hubungan antara Gadamer dan Heidegger sangat dekat. Bahkan ketika Heidegger mendapatkan posisi di Marburg, Gadamer mengikutinya. Pengaruh Heideggerlah yang membentuk landasan pemikiran kepada Gadamer sekaligus menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh neo-Kantian yang telah diterima sebelumnya dari Natorp dan Hartmann.
Perjalanan Gadamer dalam dunia filsafat khususnya heurmeneutika, mulai tumbuh ketika dia mengikuti kuliah Eugen Kuhnemann berjudul,”Explication of Kant’s Critique of Pure reason” sebagai pengantar studi sastra Jerman. Gadamer sangat terpukau dengan retorika sang profesor, sehingga dia menyimpulkan adanya hubungan puisi dengan filsafat, bahwa di balik retorika yang indah pastilah terdapat substansi filosofis”. Nampaknya darah ibunyalah yang lebih kencang mengalir dalam tubuh Gadamer, yaitu seorang yang puitis. Ini terbukti ia lebih tertarik pada ilmu masyarakat dan kemudian dipadukannya dengan ilmu pengetahuan, terutama pemberian makna terhadap sebuah karya. Kemudian lebih dikenal dengan hermeneuti3. Telah dikatakan sebelumnya bahwa hermeneutika mengarah pada pencarian makna dari sebuah benda, terutama sebuah teks. Dalam praktiknya pemberian makna dari si penafsir terhadap sebuah karya menekankan pada tiga hal yang mendasar, yiatu penggagas, teks dan pembaca. Disinilah titik tolak dari sebuah hermeneutika.

2. Husserl adalah guru Heidegger. Pemikiran Hussel tentang heurmeneutika adalah bahwa makna sebenarnya ada dalam benda, tugas manusia untuk menyingkap benda itu adalah dengan jalan reduksi (burgetting Theory), ketika melihat suatu benda maka kita hasus menyingkirkan semua pengetahuan atau teori-teori
3. Secara etimologis kata hermeneutika sendiri berasal dari kata Yunani. Sebagai sebuah kata kerja, harmeneuin yang artinya adalah menafsirkan. Sedangkan kata bendanya adalah hermeneia. Dalam kajian lain, lebih dijelaskan lagi kata tersebut mengarah pada Hermes, yaitu dewa pada keyakinan Yunani. Ia adalah dewa di Gunung Olympus, yang bertugas membawa berita kepada manusia dan juga nasib yang akan dialami manusia. Hermes harus menyampaikan pesan dari dunia berbeda itu sehingga dapat dimengerti oleh manusia. Jadi, Hermes tidak hanya menyampaikan berita, namun terlebih dahulu harus memahami, menerjemahkan, menerangkan kepada manusia. Hermeneutika sering diartikan sebagai metode “pemahaman atas pemahaman” (understanding of understanding). Metode ini sangat sesuai diterapkan untuk ilmu-ilmu kemanusiaan (geistenwissenschaften) yang objeknya adalah ekspresi kehidupan (lebensaeusserung) meliputi konsep, tindakan, dan penghayatan (erlebnis) manusia.
 
 















Hermeneutika terkait seputar beberapa isu-isu rasional terkait penafsiran, seperti hakikat teks, memahami makna konotatif dari teks, bagaimana pemahaman dan penafsiran atas teks diperoleh melalui beragam proposisi dan horizon subjek yang memahami dan pengurai teks. Dan ini lah yang menjadikan perbedaan diantara para ahli hermeneutika selanjutnya.
Karena sangat dipengaruhi oleh pemikiran Martin Heidegger, Gadamer juga meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan proses universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai hakikat kapasitas manusia sebagai sebuah Ada. Pemahaman harus dipahami sebagai sikap dasar keberadaan manusia. Jadi eksistensi manusia dibangun oleh kualitas manusia itu sendiri dalam memahami teks

3.      Latar Belakang Sosial
Hans-Georg Gadamer atau yang dikenal dengan Gadamer lahir di Marburg (Jerman) pada tanggal 11 Februari 1900 dan meninggal di Heidelberg (Jerman) pada tanggal 13 Maret 2002, pada umur 102 tahun. Hans-Georg Gadamer adalah seorang filsuf Jerman yang paling terkenal dengan karyanya pada tahun 1960, Kebenaran dan Metode (Wahrheit und Methode).
Gadamer adalah anak seorang kimiawan  farmasi yang juga menjadi rektor universitas di Marburg, bernama Dr. Johannes Gadamer (1867-1928). Dr. Johannes Gadamer pernah diminta untuk menjadi profesor luar biasa di universitas Breslau. Ia dikenal memiliki sikap tegas, keras dan penuh disiplin dalam setiap keadaan dengan berkarakter budaya Prusia.
Sebagai seorang ilmuwan yang sekaligus sebagai ilmuwan terpandang, Johanes Gadamer (ayah Gadamer) memiliki sikap disiplin yang luar biasa. Menurutnya, ilmu pengetahuan yang dapat membuat seseorang terpandang dan sukses adalah ilmu alam seperti yang ia geluti sekarang. Oleh sebab itu ia menginginkan agar anaknya, Gadamer yunior, untuk mengikuti dan melanjutkan jejaknya dikemudian hari. Namun, tak disangka keinginan tersebut ditolak oleh Gadamer yunior. Gadamer yunior lebih tertarik menekuni ilmu-ilmu humaniora.
Kekhawatiran Johanes Gadamer bukanlah tanpa sebab, kala itu di Jerman berada pada titik balik. Dimana teknologi menjadi dewa dan keyakinan seluruh umat manusia. Apa yang dicita-citakan oleh masyarakat adalah kemajuan dan kemakmuran dalam segala bidang, yang berkaitan dengan ilmu eksak tentunya. Selain itu, orang yang dapat hidup dengan layak adalah orang yang mampu di bidang eksak. Seperti Johanes Gadamer saat ini. Oleh karena itu, jika ada yang mempelajari ilmu humaniora dianggap sebagai suatu langkah mundur dan tidak memberi kontribusi terhadap kemajuan peradaban manusia. Apa lagi kemakmuran.
Sedang ibunya bernama Emma Caroline Johanna Gewiese (1869–1904) seorang ibu rumah tangga penganut Protestan yang taat dan konservatif, yang berhati lembut dan memiliki sikap yang penuh puitis. Hal ini kebalikan dari sikap suaminya. Gewiese meninggal pada saat Gadamer yunior berusia empat tahun karena penyakit diabetes. Walaupun besar pada keluarga Protestan yang taat, dikemudian hari memilih bungkam jika disodori pertanyaan mengenai imannya. Gadamer hidup dizaman nazi, namun dalam masa perkembangan selanjutnya ia tak terpengaruh pada pemerintahan nazi. Bahkan ia cenderung tidak setuju dengan pemerinthan tersebut.
Pada pada 1919, Gadamer belajar dengan Nicolai Hartmann dan neo-Kantian filsuf Paul Natorp di Marburg. Pada tahun 1922 ia lulus dengan tesis tentang The Essence of Pleasure dan Dialog di Plato. Pada tahun 1923 ia bertemu Husserl dan Heidegger di Frieberg. Ia menulis disertasi doktor kedua di bawah Heidegger, dan menjadi Privatdozent di University of Marburg. Gadamer pernah menyatakan bahwa ia berutang segalanya untuk Heidegger, pengaruhnya besar. Pendekatan hermeneutika Heidegger dan gagasannya bahwa filsafat tidak terlepas dari budaya bersejarah dan artistik akan membentuk dasar dari filsafat Gadamer.
Pada tahun 1937 Gadamer terpilih menjadi profesor filsafat di Marburg, dan pada tahun 1939 ia pindah ke guru besar di Universitas Leipzig. Dia mengambil posisi netral secara politik di mata Tentara Soviet pendudukan, dan di bawah negara komunis baru dari Jerman Timur pada tahun 1945 menjadi Rektor Leipzig. Pada tahun 1947 ia pindah Barat untuk menerima posisi di Universitas Frankfurt-am-Main. Pada tahun 1949 ia berhasil Karl Jaspers sebagai Profesor Filsafat di Heidelberg, dan menjadi Profesor Emeritus pada tahun 1968, terus mengajar di sana selama lebih dari 50 tahun. Ia telah menjadi dosen tamu di universitas-universitas di seluruh dunia, menikmati hubungan khusus dengan Boston College di Amerika Serikat. Dia dikenal sebagai kepribadian yang supel dan lincah, dan tetap aktif sampai tahun terakhir hidupnya.
Pada tahun 1960 ia menerbitkan Kebenaran dan Metode, yang akan menggambarkan paling menyeluruh karyanya pada hermeneutika filosofis. Buku ini merupakan perpanjangan dari ontologi Heidegger dalam hermeneutika kritis, dan menyerang pandangan metode ilmiah sebagai satu-satunya rute menuju kebenaran. Hermeneutika kritis dapat dipahami pada filosofi pemahaman dan interpretasi. Kebenaran dan Metode meneliti bahasa sebagai wahana untuk interpretasi, dan termasuk kritik dari kedua estetika Kantian, hermeneutika Romantis, dan historisisme dari Dilthey. Gadamer berpendapat bahwa kebenaran sejarah, masyarakat dan budaya hanya terungkap melalui semacam dialog: melalui mendengarkan sejarah seperti yang terungkap dalam tradisi dan institusi dan budaya seperti yang terungkap dalam puisi. Kebenaran ini tetap tidak dapat diakses untuk pengamatan ilmiah. Metode hermeneutis sangat diperlukan untuk wacana sejarah dan artistik, dan juga diterapkan dalam hukum, teologi, sastra dan filsafat.

4.      Pertanyaan yang akan diajukan
Uraian sebelumnya juga telah sedikit dibahas mengenai zaman dimana munculnya Hermeneutika, yaitu zaman ilmu eksak. Dimana semua ilmu pengetahuan yang dapat dikatakan ilmiah jika memiliki basis empirisme. Awalnya, Hermeneutika sendiri tidak terpisahkan dengan alam positivisme tersebut. Hal ini sebenarnya menjadi dilema bagi hermeneutika itu sendiri, sebab sebagai ilmu interpretasi seharusnya tidak akan dapat dipisahkan keberadaan pandangan si penafsir sendiri tentang objek yang menjadi bahan kajiannya. Ditambah lagi dengan berbagai pengalaman yang telah diperolehnya.
Betti, Schleiermacher, dan Dilthey4 adalah penggagas aliran hermeneutika objektivisme ini. Mereka menekankan sebuah tampilan hermeneutika haruslah steril dari intervensi historisitas penafsir itu sendiri. Jadi, jika seorang penafsir ingin mengetahui apa yang ingin diungkapkan oleh pengarang asli dari sebuah karya, maka penafsir harus mengetahui latar belakang dan semuanya tentang pengarang aslinya. Jika tahap ini mampu dilampaui oleh seorang penafsir, maka ia akan mampu mengetahui kemana tujuan atau arah si pembuat.
Serangan Gadamer pada keutamaan ilmu pengetahuan datang sebagai reaksi terhadap fase dalam filsafat Anglo-Amerika dari positivisme logis, yang didirikan diri pada metode ilmiah sebagai sarana untuk menetapkan kebenaran menghubungkan semua ilmu. Dia percaya bahwa tidak ada ilmu yang bebas dari subjektivitas dan drive manusia, sebagai manusia harus melakukan setiap studi ilmiah. Dia berpendapat terhadap kemungkinan ilmu pengetahuan memiliki metode objektif untuk mencapai pemahaman. Dia mengkritik metodologi ilmu-ilmu alam dan upaya untuk menggunakan metodologi ini terhadap ilmu manusia. Ia menyatakan bahwa pengalaman manusia terletak di bahasa, dan tidak tdk dari sikap merugikan, yang adalah apa yang memberi kita perspektif dan subjektivitas. Pertahanan berkualitas Gadamer prasangka dan tradisi akan menimbulkan tantangan yang sulit dengan budaya dominan pasca perang Jerman.

4. Wilhem Dilthey adalah tokoh heurmeunetika klasik (seorang sejarawan), pemikirannya merupakan lawan dari pemikiran Gadamer. Menurut Dilthey, untuk mencari kebenaran maka harus dicari tahu dulu konteks pada masa dimana teori itu dikeluarkan. Pencarian kebenaran ini disebut dengan istilah “Verstehen”. Pemikiran Dilthey banyak dipakai dan dianut oleh para peneliti sejarah.
 
 





Ia memunculkan sebuah antithesis dari pandangan para tokoh sebelumnya. Bahwa upaya objektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapapun yang akan menafsirkan sebuah teks. Alasanya adalah ada sebuah jurang pemisah antara pengarang dan penafsir yang tidak mungkin disatukan lagi, serta alam pikiran penafsir tidak dapat dikosongkan dari yang namanya kebudayaan yang telah diperolehnya sedari kecil. Inilah yang dijadikan modal bagi penafsir. Dengan demikian upaya objektivitas murni dalam hermeneutika hanya dalam akan menjadi halyang mustahil, sehingga yang kemudian yang dapat dilakukan oleh penafsir adalah memproduksi makna yang terkandung dalam teks sehingga teks itu sendiri menjadi lebih kaya makna.
Pandangan Gadamer tentang Heurmeneutika adalah bahawa ketika kita menafsirkan teks maka kita tidak perlu mencari siapa yang menulisnya. Jadi tergantung siapa yang menafsirkannya. Sebagai contoh ketika kita melihat suatu lukisan, maka kita tidak perlu menanyakan makna apa yang terkandung dalam lukisan itu kepada sang pembuat tetapi terserah kepada pada penikmat lukisan itu dan setiap penikmat lukisan itu boleh menafsirkannya berdasarkan pengetahuannya.
Dengan kata lain, menurut Gadamer, hermeneutika yang baik adalah subjektifisme interpretasi yang relevan dengan keadaan penafsir saat ini. Bukan saat dimana pengarang itu hidup dan berkarya. Gadamer dengan pemahaman hermeneutika ini pada detik yang sama memproklamirkan diri sebagai penentang positivisme dalam kancah hermeneutika. Ia menegaskan bahwa justru yang terpenting dalam jurang waktu dan tradisi (budaya) itu adalah dialektika yang produktif antara masa lalu dan masa kini. Dan ini hanya bisa dimasuki melalui bahasa.

5.      Proposisi yang ditawarkan
Secara kategoris, kerangka hermeneutika Gadamer berkaitan dengan kebenaran sebagai yang tak tersembunyikan, bahasa dan pemahaman, hubungan antara kebenaran dan metode. Ada tiga pertanyaan yang diajukan oleh Gadamer dalam pemikirannya dan diolahnya sehingga memunculkan kesimpulan yaitu sebagai berikut:
Pertama, Gadamer tidak pernah mengidealisasikan hermeneutika sebagai sebuah metode, karena pemahaman yang ditekankannya adalah tingkat ontologism, bukan metodologis. Menurutnya kebenaran menerangi metode, sedangkan metode hanya menghambat kebenaran. Jadi untuk mencapai kebenaran kita harus melakukan proses dialektika, dengan demikian kesempatan untuk menanyakan tentang berbagai hal dapat dilakukan ketimbang dengan metode. Bagi Gadamer kebenaran dipahami sebagai ketersingkapan, ketaktersembunyian, atau ada telanjang. Penyingkapan kebenaran itu harus mengacu pada tradisi, bukan pada metode dan teori. Bagi Gadamer, manusia mampu memahami karena ia mempunyai tradisi dan tradisi adalah bagian dari pengalaman kita, sehingga tidak akan ada pengalaman kita yang berarti tanpa mengacu pada tradisi. Tegasnya, pemahaman terhadap kebenaran akan menjadi entitas yang tak tersembunyi hanya akan menjadi suatu kemungkinan jika berpijak pada tradisi.
Kedua, dalam rangka untuk memahami sebuah teks Gadamer memberikan pandangannya tentang pemahaman terhadap bahasa itu sendiri. Konsepsi Gadamer tentang bahasa ialah penolakannya terhadap “teori tanda”. Alasannya adalah ketika kita menempatkan bahasa sebagai sebuah tanda itu sama saja kita telah menghilangkan kekuatan dan mengeliminasinya, dan akhirnya bahasa itu hanya sebagai sebuah tanda. Tak lebih. Bahasa bukan hanya sebagai alat tetapi sebagai sesuatu kita konstruksikan untuk mengkomunikasikan dan membedakan. Oleh karena itu, menurut Gadamer, bahasa harus dipahami sebagai yang menunjuk pada pertumbuhan kesejarahan makna-maknanya, tata bahasa, dan sintaksisnya sehingga dengan demikian bahasa muncul sebagai bentuk-bentuk variatif logika, pengalaman, hakikat, termasuk pengalaman tradisi (juga termasuk pengalaman supranatural). Jadi sebuah bahasa mencakup banyak aspek yang mendasar, ia bukan hanya digunakan untuk menerangkan pemahaman antara objek dengan manusia, tetapi bahkan sampai pada taraf pemikiran-pemikiran serta pengalaman-pengalaman hidup seseorang yang terkristalisasi dalam kebudayaannya. Bahasa dapat menerangkan sebuah (dan semua isi) dunia.
Ketiga, kebenaran yang ingin diungkapkan oleh hermeneutika terhadap keberadaan suatu teks haruslah melampaui sebuah metode. Gadamer memang tidak menyingkirkan kedudukan metode itu sendiri, namun Gadamer mencoba menjelaskan bahwa kebenaran bukanlah hasil dari sebuah metode. Metode bukan merupakan syarat mutlak sebagai sarana pemahaman kebenaran terhadap teks yang ada.

6.      Jenis realitas sosial
Sampai disini kita dapat sedikit memahami bahwa apa yang diinginkan Gadamer terhadap kebenaran karya seseorang adalah hal yang sangat nyata, tak tersembunyi. Nyata karena pengungkapan kebenaran (makna) didasarkan pada pangalaman penafsir. Dikatakan tersembunyi, sebab kebenaran teks tersebut karena dimaknai/ diterjemahkan terlebih dahulu oleh penafsir. Dengan memberi pengertian mengenai teks yang ada, barulah makna itu (dari sebuah bahasa) dapat terungkap. Jadi jenis realitas sosial yang menjadi fokus dalam hermeneutika Gadamer disini dapat dikatakan realitas yang tak nampak/simbolik.
Pembahasan mengenai tahap pencarian sebuah makna dalam perspektif hermeneutika Gadamer, memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk berekspresi dalam menanggapi fenomena (dalam sebuah teks). Dari kesan yang dapat kita tangkap tersebut maka dapat dinyatakan bahwa hermeneutika Gadamer membahas lingkup sosial mikro, yaitu membahas individu dalam menanggpi teks yang ditemuinya.
Berarti realitas yang dibangun oleh Gadamer adalah realitas yang multivalent. Gadamer menyatakan bahwa satu realitas yang terjadi dalam waktu yang berbeda maka tafsirnya juga berbeda. Sebagai contoh, sebuah peristiwa bersejarah pada tahun 1965 di Indonesia yang dikenal sebagai peristiwa G30S/PKI oleh pemerintah mungkin dianggap sebagai peristiwa coup d’etat, yang harus diberantas dan dihilangkan dari bumi Indonesia namun di sisi lain oleh para korban mungkin bisa dianggap sebagai peristiwa yang mengerikan, penghilangan harga diri dan masa depan. Belum lagi pandangan para jagal (pembunuh) pada masa pembersihan Indonesia dari unsur G30S/PKI, mungkin dia beranggapan bahwa apa yang dilakukannya adalah sekedar melaksanakan tugas yang tidak perlu lagi dipertanyakan untuk apa, bagaimana hasilnya dan efeknya bagi kehidupannya di kemudian hari.

7.      Penjelasan Yang ditawarkan
Model dasar pemahaman bahwa Gadamer akhirnya tiba pada Truth and Method. Dijelaskan bahwa sebuah percakapan melibatkan pertukaran antara mitra percakapan yang berusaha membuat kesepakatan tentang beberapa hal yang dipermasalahkan, akibatnya, seperti pertukaran tidak pernah sepenuhnya di bawah kendali baik lawan bicara, tetapi lebih ditentukan oleh materi yang dipermasalahkan. Percakapan selalu terjadi dalam bahasa dan Gadamer memandang pemahaman seperti bahasa bisa dimediasi. Karena baik percakapan dan pemahaman melibatkan dan mendatangkan kesepakatan, sehingga Gadamer berpendapat bahwa semua pemahaman melibatkan sesuatu seperti bahasa yang sama, meskipun bahasa yang sama yang itu sendiri terbentuk dalam proses pemahaman itu sendiri. Dalam hal ini, segala akal, menurut Gadamer, interpretatif, dan, sejauh semua interpretasi melibatkan pertukaran antara familiar dan asing, sehingga semua interpretasi juga translative.
Selain komitmen Gadamer terhadap pemahaman berbahasa, dia juga melakukan tindakan untuk melihat pemahaman pada dasarnya terletak pada masalah artikulasi konseptual. Ini tidak menutup kemungkinan modus lain dari pemahaman, tetapi tidak memberikan keutamaan bahasa dan conceptuality dalam pengalaman hermeneutik. Memang, Gadamer mengambil bahasa bukan hanya beberapa instrumen dengan cara yang kita mampu untuk terlibat dengan dunia, tetapi sebagai gantinya sangat media untuk keterlibatan tersebut.
Gadamer menyatakan bahwa bahasa adalah cakrawala universal pengalaman hermeneutik, ia juga mengklaim bahwa pengalaman hermeneutik itu sendiri universal. Ini bukan hanya dalam arti bahwa pengalaman pemahaman akrab atau di mana-mana. Universalitas hermeneutika berasal dari klaim eksistensial untuk hermeneutika Heidegger yang maju pada tahun 1920 dan bahwa Gadamer dibuat menjadi ide sentral dalam pemikirannya sendiri. Hermeneutika menyangkut modus dasar kita berada di dunia dan pemahaman demikian fenomena dasar dalam keberadaan kita. Kita tidak bisa kembali di balik pemahaman, karena untuk melakukannya akan menganggap bahwa ada modus kejelasan yang sebelum pemahaman. Hermeneutika demikian ternyata universal, tidak hanya dalam hal pengetahuan, baik dalam 'ilmu manusia' atau di tempat lain, tetapi untuk semua pemahaman dan, memang, filsafat itu sendiri. Filsafat adalah, pada intinya, hermeneutika. Klaim Gadamer untuk universalitas hermeneutika adalah salah satu titik eksplisit pada masalah dalam perdebatan antara Gadamer dan Habermas, tetapi juga dapat dilihat sebagai, dalam arti tertentu.

8.      Metodologi yang digunakan
Hermeneutika Gadamer adalah refleksi kritis tentang pemahaman dan interpretasi yang berlandaskan ontology keterbatasan temporal Dasein, sebuah hermeneutika yang tidak mengobjektivasi pengalaman dan amat sadar dengan historikalitas pemahaman. Bahwa diwilayah pengalaman manusia tentang dunia, terdapat kebenaran-kebanaran yang tak tertanggulangi oleh metode-metode ilmiah ilmu pengetahuan alam. Disini poin terpentingnya bukanlah tentang adanya kebenaran-kebenaran lain yang terdapat diluar jangkauan metode ilmiah, tetapi lebih kearah kebenaran yang mengandung subjektifitas/ pengalaman penafsir.  Dari sini, lahirlah pandangan bahwa setiap pemahaman dan teori pemahaman tidak akan bisa mengantarkan manusia pada objek dalam diri sendiri, sebab hakikat pengalaman dan pemahaman adalah historis, dan tidak terbatas.
Di hampir semua daerah, pendekatan Gadamer ditandai, bukan oleh upaya untuk menerapkan teori yang sudah ada ke domain yang bersangkutan, melainkan oleh usaha untuk berpikir dari dalam domain tersebut, dan dengan cara yang penuh perhatian untuk itu . Seperti komentar Gadamer di Truth and Method 'aplikasi bukanlah berikutnya atau hanya bagian sesekali fenomena pemahaman, tapi juga menentukan secara keseluruhan dari awal' (Gadamer, 1989b, 324). Teori dan aplikasi tidak terjadi, maka, dalam pemisahan dari satu sama lain, tetapi merupakan bagian dari hermeneutis 'praktek' single. Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Gadamer adalah pendekatan Kualitatif.

9.      Unit analisis yang digunakan
Unit analisis yang diguanakan Gadamer dalam memahami sesuatu kebenaran adalah terletak pada pemahaman individu-individu. Gadamer menegaskan tentang sifat terbatas manusia sehingga manusia mengetahui dan mengajak kita untuk tetap terbuka satu sama lain. Ini adalah keterbukaan untuk berdialog dengan orang lain yang melihat Gadamer sebagai dasar untuk solidaritas yang lebih dalam. Dengan demikian unit analisis yang dilakukan oleh gadamer adalah unit mikro, yang melihat aktor yang berpedan di dalamnya adalah aktor yang otonom.

10.  Bias keberpihakan dan Berada dalam Mazab apa
Pemikiran Gadamer mulai dan selalu tetap terhubung dengan pemikiran Yunani, khususnya Plato dan Aristoteles. Dalam hal ini, keterlibatan awal Gadamer dengan Plato, yang terletak pada inti dari kedua disertasi doktor dan habilitasi ('Dialektis Etika Plato) yang dibuatnya pada tahun 1928, hal itulah yang menentukan dari banyak karakter dan arah filsafat pemikirannya. Di bawah pengaruh guru awal seperti Hartmann, serta Friedlander, Gadamer mengembangkan pendekatan untuk Plato yang menolak gagasan dari setiap 'tersembunyi' doktrin dalam pemikiran Plato, melihat bukan untuk struktur dialog Platonis diri mereka sebagai kunci untuk memahami filsafat Plato.
Menurut Gadamer satu-satunya cara untuk memahami Plato, seperti Gadamer melihatnya, adalah dengan bekerja melalui teks Platonis dengan cara yang tidak hanya masuk ke dalam dialog dan dialektika diatur dalam teks-teks, tetapi juga mengulangi bahwa gerakan dialogis dalam upaya pemahaman sebagai tersebut. Selain itu, struktur dialektika pertanyaan Platonis juga menyediakan model untuk cara pemahaman yang terbuka untuk masalah tersebut pada masalah melalui membawa diri dipertanyakan bersama dengan materi itu sendiri. Di bawah pengaruh Heidegger, Gadamer juga mengambil, sebagai elemen sentral dalam pemikirannya, ide phronesis ('kebijaksanaan praktis') yang muncul dalam Buku VI Etik Nichomachean Aristoteles. Untuk Heidegger konsep phronesis adalah penting, tidak hanya sebagai sarana memberikan penekanan kepada kami praktis 'menjadi-in-dunia atas dan melawan ketakutan teoritis, tetapi selain itu dapat dilihat sebagai merupakan modus wawasan beton kita sendiri situasi (baik situasi kita praktis dan, yang lebih mendasar, situasi eksistensial kita, maka phronesis merupakan modus self-knowledge).
Cara di mana Gadamer conceives pemahaman, dan interpretasi, adalah sebagai hanya seperti mode berorientasi praktis wawasan-mode wawasan yang memiliki rasionalitas sendiri tereduksi untuk setiap aturan sederhana atau seperangkat aturan, yang tidak dapat secara langsung diajarkan, dan bahwa selalu berorientasi pada kasus tertentu. Konsep phronesis sendiri bisa dilihat sebagai memberikan penjabaran tertentu dari konsepsi dialogis pemahaman Gadamer telah ditemukan di Plato, dan, diambil bersama-sama, kedua konsep ini dapat dilihat sebagai menyediakan titik awal yang penting untuk pengembangan hermeneutika filosofis Gadamer .
Dari langkah yang dilakukan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk memahami apa yang diinginkan Gadamer tentang arti sebuah kebenaran itu sendiri dan proses pemunculan sebuah kebenaran, yaitu dengan menyediakan/ mengadakan berbagai pertanyaan kepada diri (dialektika) untuk dicoba dicari jawaban atas pertanyaan tersebut. Penilaian terhadap fenomena (teks) yang ada inilah oleh Gadamer tentang hermeneutikanya. Bertolak dari hal tersebut maka dapat dinyatakan bahwa Gadamer lebih berpihak pada mahzab Cartesian, yaitu mencoba mencari kebenaran dari sebuah fenomena (teks).























DAFTAR PUSTAKA

Muzir, Inyak Ridwan. 2012. Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Turner, Bryan S. 2012. Teori Sosial dari Klasik Sampai Postmoder. Jogjakarta: Pustaka Pelajar







0 comments:

Beasiswa Pascasarjana

http://www.beasiswapascasarjana.com/2012/03/beasiswa-s2-guru-kepsek-dan-pengawas.html

Kemdikbud

Informasi tentang pendidikan, seputar Beasiswa dan perkembangan pendidikan di Indonesia

Detik.com

Apa Anda Termasuk orang yang cerdas?

Bila anda merasa sebagai bagian orang-orang yang cerdas, apa yang akan anda lakukan dengan kecerdasan anda tersebut?
Apakah akan anda gunakan kecerdasan anda tersebut untuk kebaikan umat manusia, atau hanya untuk anda sendiri atau malah untuk mencelakai manusia lainnya?
Silahkan kirimkan koment anda! Pro ataupun kontra, akan kami tampung sebagaimana kami menghargai kecerdasan sebagai sebuah misteri yang akan selalu ada di dunia ini.

Post Populer

About This Blog

Blog ini dibuat dengan kesengajaan, memang di rekayasa sedemikian rupa dengan tujuan membuat para pembaca tertarik, ikut memberikan sumbangan pemikiran demi kemajuan bersama.
Segala macam isi yang ada dalam tiap halaman blog ini diluar tanggungjawab admin.
Author menerima kritik dan masukan demi perbaikan blog ini.
Selamat berselancar

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP