Belajar Dari Sejarah
Soekarno pernah berkata ‘Jas Merah’ Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Itulah kata bijak dari sang proklamator agar bangsa ini tidak melupakan sejarahnya, tidak meninggalkan pengalaman-pengalaman yang pernah dialami dengan tujuan agar kehidupan kedepan lebih baik daripada hari ini. Akan tetapi sepertinya bangsa ini sudah melupakan kata bijak tersebut, bahkan sepertinya bangsa ini selalu terjebak dalam lubang yang sama. Mengapa semua ini harus terjadi? Mengapa? Oh mengapa ini terjadi?.....?
Minggu, 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB langit mendung menyelimuti bangsa tercinta ini, alasannya jelas orang terkuat dari Orde Baru yang dianggap sebagai Bapak Pembangunan H. M Soeharto tutup usia dalam usia 87 tahun.
Banyak rakyat Indonesia yang terhenyak sebab dua hari sebelumnya Tim Dokter Kepresidenan menyatakan Kesehatan Bapak Pembangunan tersebut mulai membaik dan rencana hari Minggu dapat di bawa pulang. Pernyataan itu memang benar, akan tetapi pulangnya mantan orang nomor satu Orde Baru itu tidak dalam keadaan sehat seperti yang diharapkan akan tetapi sudah dalam keadaan wafat. Innalillahi wa inna illaihi roji’un semua yang berasal dari Allah akan kembali kepada Allah. Dan semoga arwah Bapak Pembangunan dapat diterima di sisi Allah sesuai dengan amal perbuatannya. Amin
Ada suka dan ada yang sedih.
Duka mendalam tidak hanya dirasakan oleh keluarga besar cendana, akan tetapi seluruh rakyat Indonesia yang merasa telah berutang budi kepada beliau. Berutang budi merasa telah dilayani selama beliau hidup sebagai pemimpin negeri ini. Banyak rakyat kecil yang merasa sangat kehilangan, banyak alasan dari mereka mengapa merasa sangat kehilangan, salah satunya adalah karena jasa beliau telah mengangkat derajat mereka pada masa itu. Memperhatikan nasib mereka saat itu, semua kebutuhan hidup tercukupi saat itu. Tidak ada sandang, papan dan pangan yang tidak tercukupi pada masa itu. Kebanyakan dari mereka merasa kepemimpinan Almarhum bisa dirasakan secara langsung oleh rakyat. Dengan membandingkan keadaan pemimpin-pemimpin sejarang yang serba tidak teratur, sandang, pangan dan papan yang serba mahal dan ketidaktersediaan lainnya yang memang membuat mereka merasa tidak nyaman dan tidak makmur lagi seperti dulu.
Namun. kendati banyak rakyat yang sangat merasa kehilangan beliau ada juga yang begitu membenci dan begitu senang dengan Mangkatnya Almarhum HM Soeharto. Alasannya juga jelas, mereka merasa dijadikan korban pada masa kepemimpinan orang terkuat Orde baru tersebut. Salah satu hal menarik adalah unjuk rasa yang dilakukan oleh salah satu organisasi mahasiswa di Pulau Bali yang berunjuk rasa meminta untuk Soeharto di adili. Aneh...? orang sudah meninggal kok diadili? Apa mereka tidak melihat berita di TV ya... kalau saat mereka melakukan demonstrasi orang yang mereka Demo sudah di baringkan di pemakaman.
Tahu atau tidak tahu, yang jelas memang tidak tepat kiranya sebagai orang Indonesia yang mengaku berperikemanusiaan yang adil dan beradab melakukan hal demikian. Pertanyaannya andai mereka tahu, apakah hanya mencari sensasi atau memang tidak ada hari lain untuk melakukan unjuk rasa seperti ini. Penulis bukannya tidak suka dengan kegiatan aspiratif seperti yang dilakukan sekelompok mahasiswa tersebut, tetapi kok ya tidak tepat gitu lhoo....! Pertanyaan lain adalah kemana saja mereka selama ini? Ketika sang Jenderal masih sehat? Selama sepuluh tahun sejak 21 Mei 1998 ketika Soeharto lengser keprabon kok mereka tidak demonstrasi? Ini kan lucu.... pakai banget....!
Mikul Dhuwur Mendhem Jero
Sudah bukan waktunya lagi memang untuk mendebatkan apakah Soeharto salah ketika masih menjabat sebagai RI 1 selama 32 tahun sebab selama 10 tahun sejak 21 Mei 1998 memang tidak ada satu pun fakta atau data yang menyalahkan Soeharto kendati banyak orang yang berbicara bahwa kesalahannya setinggi gunung. (bahkan ada buku yang menulis dosa-dosa besar Soeharto), namun kenyataannya tidak dapat dibuktikan di muka pengadilan. Mengapa bisa demikian?
Apakah karena orang-orang yang duduk di meja hijau tersebut tidak berani dengan kebesaran nama Soeharto? Ataukah karena dibalik semua ini ada permainan politik yang sengaja menjadikan ikon Soeharto sebagai salah satu isu politik yang memang sangat enak untuk diperdebatkan? Sebab seperti kita ketahui bersama, setiap kita membicarakan Soeharto maka yang muncul adalah dua kubu yang pro dan kontra. Yang kontra sealu memandang Soeharto adalah sosok yang memang harus diadili (padahal belum tahu salahnya apa?) sedangkan yang pro menganggap Soeharto adalah sosok pahlawan yang memang perlu dieluk-elukan.
Sekarang yang tertinggal hanyalah kenangan, entah kenangan manis bagi yang diuntungkan pada masa era kepemimpinan pak harto atau kenangan pahit bagi mereka yang merasa dijadikan pesakitan atau korban pada masa itu. Yang jelas maukah kita untuk tetap mendhem jero mikul dhuwur terlepas dari apakah Soeharto itu salah atau tidak. Sebab mau tidak mau kita harus mengakui bahwa Soeharto memang presidennya wong cilik. Salah satu bukti adalah ketika banyak orang-orang yang rela berdiri di pinggir jalan untuk mengantarkan kepergian beliau ke liang lahat bahkan hampir seluruh rakyat Indonesia dengan khidmat melihat dan mendengarkan setiap berita yang ditayangkan oleh banyak media massa di Indonesia. Bahkan, banyak pula masyarakat yang rela pingsan kepanasan, para pejabat yang terpaksa naik ojek tidak hanya jenderal tetapi menteri pun ikut naik ojek.
Ya, itulah pak Harto. Sebelum dan sesudah meninggal memnag banyak orang yang tunduk kepadanya. Apalagi semasa hidupnya, sudah meninggal saja bisa kita lihat betapa hebatnya mantan RI 1ini? Satu hal yang pasti , bangsa ini memang harus belajar dari sejarah. Sejarah untuk memberikan yang terbaik kepada orang-orang yang telah berbuat baik kepada kita. Tidak Sokarno, ataupun Soeharto akan tetapi seharusnya kepada siapa pun yang telah memberikan kebaikan kepada kita semua. (Wie’07)
0 comments:
Posting Komentar