Semarang: Mengapa harus banjir...?
"Semarang kaline banjir, ojo sumelang yen ora dipikir..." penggalan lagu Gambang Semarang tersebut sepertinya sudah menjadi sebuah keharusan bagi kota Semarang. Tidak hanya ketika musim hujan tiba, di musim kemarau pun keadaan ini sama saja. Semarang banjir karena kiriman air dari daerah pegunungan (Ungaran, Srondol, Gunungpati), juga akibat kiriman air rob dari laut utara.
Jalan raya Kaligawe, Daerah Bubakan, Jalan Mataram, Tanah Mas, bahkan sampai d Jalan Pemuda, selalu digenangi banjir setiap kali hujan turun. Kejadian banjir yang melanda kota Semarang sebagai jantungnya kota Jawa Tengah sepertinya tidak akan cepat terselesaikan dengan asumsi bahwa memang beginilah nasib kota yang dekat dengan laut. Namun,
haruskah kita berhenti di sini dan pasrah kepada alam?
DPU: membingungkan
Jikalau kita mau mencari akar masalah banjir di Semarang, sepertinya tidak akan terhenti pada salah satu penyebab saja. Musibah banjir yang terjadi di Kota Semarang sudah merupakan komplikasi dari berbagai macam penyebab. Dimulai dari sistem tata kota yang semakin hari semakin tidak teratur, pembangunan gedung-gedung baru yang mungkin tidak lagi mengindahkan sistem AMDAL, masyarakat yang tidak peduli dengan lingkungan dan peran DPU yang sepertinya menganggap remeh dengan kejadian banjir setiap tahunnya.
Sistem tata kota Semarang yang dibangun pada masa pemerintahan Belanda tersebut memang disamakan dengan sistem tata kota di Belanda yang kondisi alamnya memang dekat dengan lautan. Bahkan sepertiga dari tanah di Belanda dibangun di atas air laut yang diratakan dengan tanah.
Namun, dalam perkembangannya apa yang terjadi sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Semarang. Jangankan membendung laut kemudian membuat bangunan di atasnya, bangunan-bangunan megah di Semarang malah ditinggalkan pemiliknya karena sering kebanjiran. Mereka berpikir lebih baik meninggalkan sesuatu yang tidak dapat diharapkan lagi daripada mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk merawat bangunan tersebut.
Penyebab selanjutnya adalah adalah munculnya gedung-gedung bertingkat yang baru yang kalau mau dikatakan jauh sekali dari prinsip AMDAL. Saya ingat, saat pertama kali menginjakkan kaki di kota Semarang, pertanyaan pertama saat itu adalah "Semarang kok tidak seperti Jakarta ya? gedung-gedungnya kok tidak ada yang bertingkat lebih dari 15?". Itu pertanyaan 8 tahun yang lalu, namun kondisi tersebut sudah berbeda, kini kota Semarang sudah memiliki puluhan gedung bertingkat bahkan ada yang lebih dari 15 tingkat. Wow... sebuah perkembangan yang begitu cepat.
Dengan munculnya gedung-gedung besar tersebut maka menjadikan kondisi tanah di Semarang memiliki beban yang semakin berat. Di samping itu pembangunan gedung-gedung tersebut kebanyakan mematikan jalur pembuangan air yang sebelumnya dijadikan jalur pembuangan air ke laut dan akhirnya membuat saluran-saluran tersebut macet dan terjadilah banjir yang kemduian menggenang di jalan-jalan besar.
Penyebab selanjutnya adalah kondisi masyarakat kota Semarang yang semakin cuek dengan kondisi lingkungan, salah satunya adalah membuang sampah sembarangan. Meski kita semua tahu, bahwa pemeintah kota Semarang setiap tahunnya mengadakan lomba kebersihan lingkungan yang dinamakan "Resik-resik Kutho" bahkan hadiahnya pun cukup menggiurkan. Namun, usaha tersebut sepertinya hanya sebagai tradisi dan hanya berlaku secara momentum saja yang sedikit sekali pengaruhnya untuk mengatas munculnya banbjir di Semarang.
Mungkin kejadiannya akan lain, andaikata masyarakat mau membiasakan hidup bersih dan mencintai lingkungannya setiap hari. meski tidak seutuhnya dapat mengatasi musibah banjir yang terjadi selama ini.
Penyebab terakhir adalah peran pemerintah dalam hal ini Pihak Dinas Pekerjaan Umum (DPU) yang memiliki kesan seolah-olah cuek dengan kondisi semacam ini. Khususnya untuk penanganan jalan raya yang sering tergenang air banjir dan rob laut jawa.
Mengapa demikian? coba tengoklah ketika banjir di daerah-daerah atau jalan-jalan seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Ketika, banjir melanda maka kondisi mengerikan dari jalan-jalan tersebut akan nampak dengan jelas. Lubang besar tercipta di mana-mana bahkan ada jalan yang sepanjang jalan tersebut semuanya berlubang dan banyak sekali mengakibatkan kecelakaan bagi para penggunannya.
DPU terkesan cuek dengan keadaan ini, dan lucunya lagi para pekerja dari DPU ini bekerja seperti dikejar target. Kalau hujan tiba mereka menambal jalan-jalan yang dianggap telah rawan, tambal-lagi, tambal lagi dan tambal lagi itulah yang terjadi meski kemudian tidak lama dalam hitungan hari atau bulan jalan yang dibetulkan sudah rusak kembali. Kesan ini memang membingungkan, mengapa kalau hujan menambal jalan namun pada saat kemarau mereka malah diam tidak bekerja?
Menurut perhitungan ekonomi, apa yang dilakukan oleh DPU ini sepertinya hanya menghambur-hamburkan dana pemerintah, meski kita juga tahu tujuannya adalah untuk melakukan perbaikan sarana prasarana umum. Tetapi apakah kebiasaan ini akan terus dilanjutkan?
Akhirnya, kita memang tidak dapat menyalahkan satu dengan yang lain. Kota Semarang memang membutuhkan jalan keluar untuk mengatasi masalah tahunan ini. Diperlukan kesadaran dari masing-masing individu untuk bersama-sama mengatasi masalah ini. Tidak hanya pemerintah namun kita sebagai warga Kota Semarang harus bahu-membahu untuk bersama-sama mengatasi masalah ini.
0 comments:
Posting Komentar