Uji Kelayakan Hari Kesaktian
- Oleh Andy Suryadi
Setelah lengsernya Soeharto, gugatan atas....
sejarah versi Orba bermunculan. Secara historis, baik peristiwa, jumlah korban, maupun dalang peristiwa tersebut masih kontroversial. Sejarawan Asvi Warman Adam yang concern mengulas peristiwa tersebut menekankan agar peristiwa tersebut cukup d sebut dengan G30S tanpa embel-embel PKI di belakangnya, karena siapa dalang sesungguhnya masih samar.
Menurut penulis, setidaknya ada lima poin yang dapat diajukan untuk mengkritik kelayakan penetapan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pertama; diambilnya tanggal itu sebagai simbol Kesaktian Pancasila kurang tepat , bahkan ahistoris. Pendapat ini berdasarkan pada catatan berbagai versi sejarah (termasuk versi Orba), bahwa pada tanggal tersebut TNI belum sepenuhnya dapat mengatasi keadaan. Bahkan situasi sedang genting-gentingnya, serta kekuasaan Dewan Revolusi masih sangat kuat.
Kedua; penamaan Hari Kesaktian Pancasila selama ini didasarkan pada keberhasilan TNI, menggagalkan kudeta yang dituding didalangi PKI, dengan salah satu tujuan mengganti dasar negara Pancasila dengan komunisme. Atas keberhasilan inilah kemudian diyakinkan bahwa Pancasila itu sakti dan tidak tergoyahkan. Persoalannya adalah apakah benar peristiwa tersebut bertujuan mengganti dasar negara, bukan sekadar menyingkirkan jenderal yang dituduh terlibat dalam Dewan Jenderal untuk menggulingkan Soekarno?.
Ketiga; seandainya benar PKI yang mendalangi dengan tujuan kekuasaan sekaligus mengganti ideologi Pancasila, pertanyaannya adalah apakah TNI (dalam hal ini Soeharto) menggagalkannya karena pertimbangan ideologis bukan karena pertimbangan ingin berkuasa?. Jika hipotesis kedua yang benar, berarti kita dikelabui oleh konstruksi sejarah yang mampu membungkus ambisi berkuasa di balik selimut pembelaan ideologi.
Keempat; jika peringatan ini didasarkan pada kehebatan ideologi Pancasila memenangi konflik ideologi, mengapa dikonstruksi hanya untuk peristiwa kudeta tahun 1965. Padahal negara kita telah berulang kali memadamkan pemberontakan yang bermuatan ideologis, seperti gerakan DI/TII di berbagai daerah, yang jelas-jelas ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi agama.
Kelima; dalam praktiknya kemudian, peringatan ini justru menjadi alat legitimasi bagi suatu kelompok politik tertentu akan tindakan politiknya pada masa lalu. Bahkan menjadi sarana doktrinasi, senjata penangkal, dan pembunuh (terutama Orba), bagi setiap upaya kelompok tertentu yang melakukan konfrontasi dengannya. Cap sebagai antek komunis dan tidak Pancasilais, kerapkali disematkan pada mereka yang menentang kebijakan pemerintah.
Padahal pihak yang berkonfrontasi tersebut tidak selalu ingin mendongkel pemerintah atau Pancasila namun sekAdar ingin mengoreksi atas penyelewengan pemerintah atau memberi klarifikasi atas cerita sejarah versi pemerintah.
Berdasarkan analisis itu, sewajarnyalah pemerintah mengkaji ulang berbagai implikasi peristiwa G30S yang secara implisit memiliki tendensi terhadap salah satu pihak. Meskipun kita sepakat bahwa komunisme tak sesuai dengan kepribadian bangsa, menuding satu pihak tanpa kajian mendalam adalah tindakan yang tidak adil.
Dalam hal ini, peringatan Hari Kesaktian Pancasila secara implisit bertendensi bahwa PKI-Iah yang paling bertanggung jawab sebagai dalang. Alangkah baiknya pemerintah menunggu hasil studi yang lebih dalam dari sejarawan sehingga semua pihak dapat menerima reward and punishment yang proporsional dengan perannya masing-masing saat itu. (10)
-- Andy Suryadi, dosen Sejarah pada Fakultas Ilmu Sosial Unnes
0 comments:
Posting Komentar