MASYARAKAT MULTIKULTURAL
Oleh: Wiyanto, S.Pd (diolah dari berbagai sumber)
A.
Pengertian
Masyarakat
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society)
adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem
semi tertutup (atau semi
terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang
berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar
dari kata dalam bahasa Arab, musyarak.
Lebih abstraknya,
sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah
sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah
masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam
satu komunitas yang teratur.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu
sosial mengidentifikasikan ada:
masyarakat pemburu, masyarakat pastoral
nomadis, masyarakat bercocoktanam,
dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar
menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah
dari masyarakat agrikultural tradisional.
Kata society berasal dari bahasa latin, societas,
yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari
kata socius yang berarti teman,
sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit,
kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan
kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
Masyarakat adalah sejumlah
manusia yang merupakan satu kesatuan golongan yang berhubungan tetap dan
mempunyai kepentingan yang sama. Seperti; sekolah, keluarga, perkumpulan, Negara.
Dalam ilmu sosiologi kita kita
mengenal ada dua macam masyarakat, yaitu masyarakat paguyuban dan masyarakat
patembayan. Gemeinschaft
atau paguyuban adalah pola masyarakat yang ditandai dengan hubungan
anggota-anggotanya bersifat pribadi, sehingga menimbulkan ikatan yang sangat
mendalam dan batiniah, misalnya pola kehidupan masyarakat pertanian umumnya
bersifat komunal yang ditandai dengan ciri-ciri masyarakat yang homogen,
hubungan sosialnya bersifat personal, saling mengenal, serta adanya kedekatan
hubungan yang lebih intim.
Sedangkan
lawan kata dari gemeinschaft adalah Gesselschaft atau patembayan
yaitu masyarakat yang kehidupan anggotanya lebih mengutamakan kepentingan
pribadi, kelompok, atau golongan, serta memperhitungkan untung rugi.
Perbedaan Gemeinschaft dan Gesellschaft
Gemeinschaft
|
Gesellschaft
|
Adanya hubungan perasaan kasih sayang
|
Hubungan antaranggota bersifat
formal
|
Adanya keinginan untuk
meningkatkan kebersamaan
|
Memiliki orientasi ekonomi dan
tidak kekal
|
Tidak suka menonjolkan diri
|
Memperhitungkan nilai guna (utilitarian)
|
Selalu memegang teguh adat lama
yang konservatif
|
Lebih didasarkan pada kenyataan sosial
|
Terdapat ikatan batin yang kuat
antaranggota
|
|
Hubungan antaranggota bersifat
informal
|
B. Unsur-Unsur Suatu Masyarakat
Suatu
masyarakat terbentuk bukan karena kebetulan akan tetapi ada prosesnya dan ada unsure-unsur
yang membentuknya dan kemudian dapat dikatakan sebagai masyarakat. Sesuatu bisa
dikatakan sebagai masyarakat jika memenuhi unsure-unsur sebagi berikut:
1) Harus ada perkumpulan manusia
2) Telah bertempat tinggal dalam waktu lama disuatu
daerah tertentu.
3) Adanya aturan atau
undang-undang yang mengatur masyarakat untuk menuju kepada kepentingan dan
tujuan bersama.
Bila dipandang cara terbentuknya
masyarakat dibedakan menjadi:
1. Masyarakat paksaan, misalnya
negara, masyarakat tawanan
2. Masyarakat mardeka
a).
Masyarakat natur, yaitu masyarakat yang terjadi dengan sendirinya, seperti:
gerombolan (harde), suku (stam), yang bertalian karena hubungan
darah atau keturunan.
b).
Masyarakat kultur, yaitu masyarakat yang terjadi karena kapantingn kedunian
atau kepercayaan.
Masyarakat
dipandang dari sudut Antropologi terdapat dua type masyarakat:
1)
Masyarakat kecil yang belum begitu kompleks, belum mengenal pembagian kerja,
belum mengenal tulisan, dan tehknologi nya sederhana.
2)
Masyarakat sudah kompleks, yang sudah jauh menjalankan spesialisasi dalam
segala bidang, kerena pengetahuan modern
sudah maju, teknologi pun sudah berkembang, dan sudah mengenal tulisan.
Masyarakat juga biasa dibedakan menurut suku, ras, dan chiefdom. Selain itu masyarakat biasa
dibedakan menurut mata pencaharian diwilayahnya. Menurut para pakar Pengertian
Masyarakat dibedakan menjadi masyarakat pemburu, masyarakat pastoral
nomadis, masyarakat cocok tanam dan masyarakat peradaban.
Masyarakat peradaban adalah masyarakat yang sudah
melakukan perubahan dalam artian menyesuaikan lingkungan alam dengan kehidupan
yang selayaknya diterapkan untuk kehidupan yang lebih maju.
Masyarakat akan berjalan apabila komponen-komponen
didalamnya berjalan lancar. apabila tidak bisa dipastikan akan terjadinya
sebuah keruntuhan didalam masyarakat itu. Meskipun itu adalah komponen kecil
seperti keluarga, akan bisa menghancurkan sebuah masyarakat. Jadi aturan-aturan
tentang persamaan harus dimasukkan guna mengatur dan mengakomodir masyarakat.
C.
Masyarakat
Multikultural
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun
kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman,
dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat
menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka
anut.
Konsep multikulturalisme menurut Taylor (Savirani,2003:385)
adalah gagasan mengatur keberagaman dengan prinsip dasar pengakuan akan
keberagaman itu sendiri (politics
of recognition). Lebih jauh lagi, gagasan ini menyangkut pengaturan relasi
antara kelompok mayoritas dan minoritas, keberadaan kelompok imigran,
masyarakat adat, dan lain-lain. Sedangkan Suparlan (2002:98) menjelaskan
multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Oleh karena itu konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara sukubangsa (ethnic) atau kebudayaan sukubangsa yang
menjadi ciri khas masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan
kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan
tertentu.
- “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007)
- Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
- Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174)
- Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000)
- Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).
D. Jenis Multikulturalisme
Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan
konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat
seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam
multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):
- Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
- Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
- Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
- Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
- Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.
Dari penjelasan di atas, maka bisa dipahami bahwa
prinsipnya adalah Multikulturalisme berakar dari individualistik, liberal, yang
memahami perbedaan kultur, memahami perbedaan atau kekayaan perbedaan agama,
politik, ideology, dan lain-lain, hanya sebatas memahami untuk tidak timbulnya
benturan akibat perbedaan-perbedaan tersebut (pasif-liberalis) sehingga konsep
Multikuturasisme ini harus di ikuti dengan konsep Pluralisme yang memahami
adanya perbedaan-perbedaan untuk kemudian pemahaman itu ditingkatkan menjadi
toleransi dan tolong menolong, gotong royong antar umat beragama, bukan dari
sisi pencampuradukan ajaran agama, melainkan dari sisi umat dan kemanusiaannya
(bersifat aktif-participatif).
E.
Multikulturalisme di Indonesia
Masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat
kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan
istilah mayarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai
sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga mereka
mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu
kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat
tersebut jika digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas
dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya
masyarakat multikultural itu.
BerdasarkanUndang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1
“Negara berdasar atas keTuhanan YME” ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu”. Inipun sesuai dengan symbol yang ada di
lambang burung Garuda Pancasila yakni “Bhinneka Tunggal Ika” “meski
berbeda-beda tetap satu jua”. Juga sesuai dengan sila pertama Pancasila yaitu
“Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan
akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan
luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana stiap
pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat.
Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu
sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat
banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat
bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta
mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa
Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang
menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
Multikultural dapat terjadi di Indonesia karena:
1. Latar belakang Historis,
2. Letak geografis Indonesia
3. Perkawinan campuran
4. Iklim
5. Keterbukaan dengan dunia luar
F.
Dampak Multikultural Di Indonesia
Berikut ini adalah dampak yang akan terjadi dengan
keberadaan kemajemukan (multikulturalisme) di Indonesia:
1. Konflik
Merupakan suatu proses social disosiatif
yang memecah persatuan di dalam masyarakat. Konflik terjadi apabila
golongan-golongan atau unsure-unsur yang berbeda dalam masyarakat gagal
mencapai kesepakatan mengenai nilai-nilai yang bersifat dasar sehingga tidak
tercapai keselarasan antar golongan dengan golongan lainnya
2. Integrasi
Adalah proses dibangunnya
interdependensi yang lebih rapat dan erat antara bagian-bagian dari
anggota-anggota masyarakat sehingga terjadi penyatuan hubungan yang dianggap harmonis
Faktor yang mendukung terjadinya integrasi social di
Indonesia yaitu:
a) Adanya
penggunaan bahasa Indonesia
b) Adanya
semangat persatuuan dan kesatuan
c) Adanya
kepribadian dan pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila
d) Adanya
jiwa dan semangat gotong-royong yang kuat dalam masyarakat
e) Adanya
jiwa dan semangat gotong-royong yang kuat dalam masyarakat
f) Rasa
solidaritas dan toleransi antar agama
g) Adanya
perasaan senasib sepenangungan sebagai akibat dari penjajahan bangsa lain
3. Dis-integrasi
Adalah suatu keadaan dimana tidak
ada lagi keserasian antar bagian-bagian dari suatuu kesatuan.
4. Re-integrasi
Disebut juga reorganisasi, yaitu
suatu tindakan yang dapat dilakukan apabila norma-norma dan nilai-nilai baru
dalam masyarakat telah melembaga dalam diri warga masyarakat
Berikut adalah penjelasan dari akibat
multikulturalisme yang terjadai di Indonesia. Satu hal yang harus disadari
bahwa Indonesia adalah negara yang di dalamnya terdiri atas banyak bangsa
(plural), banyak ras, suku/etnis, agama, budaya, termasuk orientasi seksual.
gagasan umum keberagamaan ras, yang hidup dalam harmoni pluralistik, yang
melihat keberagamaan sebagai pluralitas identitas dan kondisi eksistensi
manusia. Identitas dipandang sebagai produk adat istiadat, praktik, dan makna yang merupakan
warisan dan ciri pembawaan serta pengalaman bersama.
Tetapi pada kenyataannya di Indonesia dampak negatif
dari Multikulturalnya agama, ras, bahasa, budaya menyebabkan konflik
bergenerasi antar kelompok masyarakat (konflik horizontal) dan konflik antar
masyarakat/pemerintah daerah dan pusat (konflik vertical) dan generasi dengan pelaku
dan intensitas yang berbeda. Sebagai contoh pembakaran pasar Glodok (Peristiwa
Mei Kelabu) di Jakarta, yang menjadi sasaran adalah kelompok etnis. Keturunan
Tionghoa (sebelumnya telah terjadi di Medan kemudian di Bandung, Solo, dan
Makasar).
Peristiwa Ambon-Maluku (Pertarungan antara BBM
(Bugis-Buton-Makasar) dan Ambon Islam melawan Ambon Kristen). Peristiwa Sambas
dan Palangkaraya (Kalimantan) (Pertarungan antara Dayak, Melayu dan Tionghoa
melawan Madura), Peristiwa Poso (pertarungan antara kelompok Islam dan Kristen
yang disertai oleh unsur-unsur dari luar), Peristiwa Sumbawa (NTT) perkelahian
antara orang Sumbawa dan Bali, peristiwa Aceh (pertarungan antara orang Aceh
dan transmigrasi Jawa), peristiwa separatisme Gerakan Aceh Merdeka dan Organisasi
Papua Merdeka disusul penghancuran masjid-masjid Ahmadiyah di Parung Bogor yang
dipicu oleh perbedaan agama, atau kasus-kasus yang sudah agak lama tapi tetap
masih menjadi ingatan kita seperti pemboman Borobudur, pemboman beberapa gereja
di Indonesia atau kasus terbesar yang pernah dihadapi oleh Indonesia.
Seiring dengan itu, negara yang diharapkan menjadi
wadah penyelamat juga mengalami kekacauan dengan membudayanya praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme dijajaran birokrasi, komitmen moral para wakil rakyat
terhadap masyarakat pun sangat rendah. Sementara, keadilan, kemiskinan atau
ketimpangan sosio-politik ekonomi masyarakat semakin tinggi. Hal ini memberi
isyarat bahwa keinginan untuk membangun masyarakat berperadaban (civil society) dan keadilan sosial masih
jauh panggang dari api. Oleh karenanya, menjadi suatu keharusan pemerintah
segera mereformasi mental, moralitas jajaran birokrasi, jika tidak maka krisis
akan terus berkelanjutan dan disintegrasi tinggal menunggu bak bom waktu.
Menurut Miriam Budiarjo, sebuah negara dikatakan
demokratis ketika ditandai dengan adanya perlindungan konstitusional terhadap
semua warga negara, termasuk terhadap kaum minoritas (Miriam Budiarjo: 1999).
Sementara menurut Sri Sumantri, negara demokrasi salah satunya ditandai oleh
dilindungi dan dipertimbangkannnya Kepentingan minoritas (Frans Magnis Suseno,
1998; 72). Karena itu, salah satu ukuran bagi tumbuh dan berkembangnya
demokrasi adalah dihargainya hak-hak minoritas (minority right). Oleh karena itu
pembelaan dan perlindungan terhadap kelompok minoritas baik agama, etnis maupun
gender merupakan upaya penting yang harus dilakukan seiring dengan upaya-upaya
mengawal proses demokratisasi tersebut.
1. ^ Mubarak, Zakki, dkk. Buku Ajar II, Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian terintegrasi (MPKT) cet. Kedua. 2008: Manusia,
Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat, . Depok: Penerbit FE UI
2.
^ Azra, Azyumardi, 2007. “Identitas dan Krisis
Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia”,http://www.kongresbud.budpar.go.id/58%20ayyumardi%20azra.htm.
5.
^ [http:www.duniaesai.com/antro/antro3.html
Suparlan, Parsudi, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Simposium
Internasional Bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21
Juli 2002, 1987]
6.
^ Harahap, Ahmad Rivai, 2004.
“Multikulturalisme dan Penerapannya dalam pemeliharaan kerukunan Umat
Beragama”.
7.
^ See Neil Bissoondath. 2002. Selling Illusions: The Myth of
Multiculturalism. Toronto: Penguin. ISBN 978-0-14-100676-5.
8.
^ Neil Bissoondath, 2002. Selling Illusions: The Myth of
Multiculturalism. Toronto: Penguin,. ISBN 978-0-14-100676-5. Passim.
9.
^ [Mubarak, Zakki, dkk. Buku Ajar II. 2008.
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian terintegrasi (MPKT) cet. Kedua.: Manusia,
Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat, Depok: Penerbit FE UI]\
10. Huntington,
Samuel P alih bahasa Ruslani. 2000. Benturan Antarperadaban dan Masa Depan
Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam.
11. Fay,
Brian. 1996. Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural
Approach. Oxford: Blackwell.
12. Rorty,
Richard, Philosophy and the Mirror of Nature, Oxford: Basil Blackwell. 1980.
13. Budiman,
Hikmat. 2005. Hak Minoritas. Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Jakarta:
The Interseksi Foundation.
14. Patra
M. Zen. 2005. Komentar Hukum: Hak-hak Kelompok Minoritas dalam Norma dan
Standar Hukum Internasional Hak Asasi Manusia, Jakarta: The Interseksi
Foundation,
15. Stavenhagen,
Rudolfo. 1996. Education for a Multikultural world, in Jasque Delors (et all),
Learning: the treasure within, Paris, UNESCOAzra, Azyumardi. 2002. Pendidikan
Kewargaan dan Demokrasi di Indonesia, dalam Ikhwanuddin Syarief & Dodo
Murtadlo (eds), Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof. Dr.
HAR Tilaar MscEd, Jakarta: Grasindo.
0 comments:
Posting Komentar