Bedah Teori: Hans Georg Gadamer
1.
Konteks
Sosial
Latar kehidupan Gadamer yang hidup di Jerman yang kala
itu berada pada titik balik,
dimana teknologi menjadi
dewa dan keyakinan seluruh umat manusia
sangat mempengaruhi kehidupan dan pemikirannya.
Apa yang dicita-citakan oleh masyarakat Jerman
pada saat itu adalah kemajuan dan kemakmuran dalam
segala bidang, yang berkaitan dengan ilmu eksak. Ditambah lagi pada
tahun 1929 dimana Nazi berkuasa juga menambah dan mempengaruhi pemikirannya. Namun, Gadamer tidak terpengaruh pada Nazisme, dan ia tidak aktif berpolitik selama Reich Ketiga, Gadamer pun tidak bergabung dengan Nazi.
Pada tahun 1946, ia
ditemukan oleh pasukan pendudukan Amerika dan dianggap telah ternoda oleh
Nazisme. Tingkat keterlibatan Gadamer dengan Nazi telah diperdebatkan dalam
karya-karya Richard Wolin dan Teresa Orzoco. Orozco menuduh, dengan mengacu
pada karya-karya Gadamer diterbitkan, bahwa Gadamer telah mendukung Nazi secara lebih dari yang seharusnya.
Tetapi Gadamer telah menolak pernyataan ini, Jean Grondin
mengatakan bahwa Orozco terlibat dalam "perburuan", sementara
Donatella Di Cesare mengatakan bahwa "bahan-bahan arsip yang Orozco
mendasarkan argumennya sebenarnya cukup diabaikan" Cesare dan Grondin
berpendapat bahwa tidak ada jejak antisemitisme
dalam karya Gadamer, meskipun Gadamer mempertahankan persahabatan dengan orang-orang Yahudi dan
menyediakan tempat penampungan selama hampir dua tahun untuk filsuf Jacob Klein pada tahun 1933 dan 1934. Gadamer juga mengurangi
kontaknya dengan Heidegger selama era Nazi.
Karena komunis Jerman Timur
tidak sesuai dengan keinginan Gadamer dari Reich Ketiga, akhirnya ia berangkat ke Jerman Barat, menerima posisi pertama
di Frankfurt Am Main dan kemudian ikut dalam suksesi
Karl Jaspers di
Heidelberg
pada tahun 1949. Dia tetap di posisi ini, sebagai emeritus, sampai kematiannya
pada tahun 2002 pada usia 102. Ia juga menjabat sebagai Penasihat Editorial jurnal Dionysius. Selama waktu ini, Gadamer
menyelesaikan magnum opus-nya, Truth and Method (1960), dan terlibat
dalam debat yang terkenal dengan Jürgen Habermas atas kemungkinan melampaui sejarah dan budaya dalam
rangka untuk menemukan posisi yang benar-benar obyektif dari mana untuk kritik
masyarakat. Perdebatan itu tidak meyakinkan, tapi menandai awal hubungan hangat
antara dua orang pemikir ini.
2.
Pemikiran
dan teori apa yang mempengaruhi
Gadamer dipengaruhi oleh metode fenomenologis Heidegger1 dan
melihat makna sebagai pengalaman, peristiwa teraba yang terjadi dalam waktu dan
antara subjek. Heidegger sendiri adalah murid dari Hussel2. Gadamer
memelihara hubungan poststructural bahasa
dalam hal ini adalah situs pengalaman manusia. Namun, dia tidak setuju dengan
sikap poststructural atau deconstructivist bahwa ini menunjukkan
kegagalan bahasa untuk dapat menyampaikan makna. Gadamer merasa bahwa ini
adalah sumber bukan keberhasilan makna, dan ia berdebat pada titik ini secara
langsung dengan Derrida. Gadamer berpendapat bahwa manusia adalah semua
konstituen bahasa, yang tumbuh dan perubahan dengan kami, bahwa kita berada
dalam bahasa sebagai bahasa dalam diri kita, dan hal ini membuat untuk
pemahaman antara masyarakat dan seluruh sejarah.
Gadamer memulai kehidupan
akademisnya mempelajari Plato dan Aristoteles dan filologi klasik dipertahankan
pengaruhnya sepanjang karirnya. Dia adalah seorang pengagum penyair Jerman modern
seperti Rilke, Stefan Geoge, dan Paul Celan. Dia merasa bahwa penyair adalah
yang paling mampu memberitahu kita tentang iklim kontemporer budaya kita, dan
bukan aktor-aktor politik. Dia melihat nilai budaya pada kemampuannya untuk
menunjukkan kebenaran sebagai milik, diungkapkan oleh suara yang lain.
Menjelang akhir hidupnya, Gadamer mulai mempelajari agama dengan penuh
perhatian, berharap untuk membayangkan jalan menuju rekonsiliasi antara
agama-agama dunia dan ketahanan terhadap visi mekanistik dan terasing dari
takdir manusia.
|
Pada tahun 1923
Gadamer bertemu Husserl2 dan Heidegger di Frieberg. Tak lama
kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg
dan mulai belajar dengan Martin Heidegger.
Saat itu Heidegger merupakan seorang sarjana muda dan belum memperoleh gelar
profesor. Gadamer kemudian menjadi salah satu dari kelompok mahasiswa
seperti Leo Strauss, Karl Löwith,
dan Hannah Arendt. Hubungan antara
Gadamer dan Heidegger sangat dekat. Bahkan ketika Heidegger mendapatkan posisi
di Marburg,
Gadamer mengikutinya. Pengaruh Heideggerlah yang membentuk landasan pemikiran
kepada Gadamer sekaligus menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh neo-Kantian yang
telah diterima sebelumnya dari Natorp dan Hartmann.
Perjalanan
Gadamer dalam dunia filsafat khususnya heurmeneutika, mulai tumbuh ketika dia
mengikuti kuliah Eugen Kuhnemann berjudul,”Explication
of Kant’s Critique of Pure reason” sebagai pengantar studi sastra Jerman.
Gadamer sangat terpukau dengan retorika sang profesor, sehingga dia
menyimpulkan adanya hubungan puisi dengan filsafat, bahwa di balik retorika
yang indah pastilah terdapat substansi filosofis”. Nampaknya darah ibunyalah
yang lebih kencang mengalir dalam tubuh Gadamer, yaitu seorang yang puitis. Ini
terbukti ia lebih tertarik pada ilmu masyarakat dan kemudian dipadukannya
dengan ilmu pengetahuan, terutama pemberian makna terhadap sebuah karya.
Kemudian lebih dikenal dengan hermeneuti3. Telah dikatakan sebelumnya bahwa hermeneutika mengarah
pada pencarian makna dari sebuah benda, terutama sebuah teks. Dalam praktiknya
pemberian makna dari si penafsir terhadap sebuah karya menekankan pada tiga hal
yang mendasar, yiatu penggagas, teks dan pembaca. Disinilah titik tolak dari
sebuah hermeneutika.
|
Hermeneutika
terkait seputar beberapa isu-isu rasional terkait penafsiran, seperti hakikat
teks, memahami makna konotatif dari teks, bagaimana pemahaman dan penafsiran
atas teks diperoleh melalui beragam proposisi dan horizon subjek yang memahami
dan pengurai teks. Dan ini lah yang menjadikan perbedaan diantara para ahli
hermeneutika selanjutnya.
Karena
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Martin Heidegger, Gadamer juga meyakini bahwa
hermeneutika merupakan penyelidikan proses universal dari tindak pemahaman yang
juga diklaim sebagai hakikat kapasitas manusia sebagai sebuah Ada. Pemahaman
harus dipahami sebagai sikap dasar keberadaan manusia. Jadi eksistensi manusia
dibangun oleh kualitas manusia itu sendiri dalam memahami teks
3.
Latar
Belakang Sosial
Hans-Georg Gadamer atau yang
dikenal dengan Gadamer lahir di Marburg (Jerman)
pada tanggal 11 Februari 1900
dan meninggal di Heidelberg (Jerman)
pada tanggal 13 Maret 2002,
pada umur 102 tahun. Hans-Georg Gadamer
adalah seorang filsuf Jerman yang
paling terkenal dengan karyanya pada tahun 1960, Kebenaran dan Metode (Wahrheit
und Methode).
Gadamer
adalah anak seorang kimiawan
farmasi yang juga menjadi rektor universitas di
Marburg,
bernama Dr. Johannes Gadamer (1867-1928). Dr. Johannes Gadamer pernah diminta
untuk menjadi profesor luar biasa di universitas Breslau. Ia dikenal memiliki
sikap tegas, keras dan penuh disiplin dalam setiap keadaan dengan berkarakter
budaya Prusia.
Sebagai
seorang ilmuwan yang sekaligus sebagai ilmuwan terpandang, Johanes Gadamer
(ayah Gadamer) memiliki sikap disiplin yang luar biasa. Menurutnya, ilmu
pengetahuan yang dapat membuat seseorang terpandang dan sukses adalah ilmu alam
seperti yang ia geluti sekarang. Oleh sebab itu ia menginginkan agar anaknya,
Gadamer yunior, untuk mengikuti dan melanjutkan jejaknya dikemudian hari.
Namun, tak disangka keinginan tersebut ditolak oleh Gadamer yunior. Gadamer
yunior lebih tertarik menekuni ilmu-ilmu humaniora.
Kekhawatiran
Johanes Gadamer bukanlah tanpa sebab, kala itu di Jerman berada pada titik
balik. Dimana teknologi menjadi dewa dan keyakinan seluruh umat manusia. Apa
yang dicita-citakan oleh masyarakat adalah kemajuan dan kemakmuran dalam segala
bidang, yang berkaitan dengan ilmu eksak tentunya. Selain itu, orang yang dapat
hidup dengan layak adalah orang yang mampu di bidang eksak. Seperti Johanes
Gadamer saat ini. Oleh karena itu, jika ada yang mempelajari ilmu humaniora
dianggap sebagai suatu langkah mundur dan tidak memberi kontribusi terhadap
kemajuan peradaban manusia. Apa lagi kemakmuran.
Sedang
ibunya bernama Emma Caroline Johanna Gewiese (1869–1904) seorang ibu rumah
tangga penganut Protestan yang taat dan konservatif, yang berhati lembut dan
memiliki sikap yang penuh puitis. Hal ini kebalikan dari sikap suaminya.
Gewiese meninggal pada saat Gadamer yunior berusia empat tahun karena penyakit
diabetes. Walaupun besar pada keluarga Protestan yang taat, dikemudian hari
memilih bungkam jika disodori pertanyaan mengenai imannya. Gadamer hidup
dizaman nazi, namun dalam masa perkembangan selanjutnya ia tak terpengaruh pada
pemerintahan nazi. Bahkan ia cenderung tidak setuju dengan pemerinthan
tersebut.
Pada pada
1919, Gadamer belajar dengan Nicolai Hartmann dan neo-Kantian filsuf Paul
Natorp di Marburg. Pada tahun 1922 ia lulus dengan tesis tentang The Essence
of Pleasure dan Dialog di Plato. Pada tahun 1923 ia bertemu Husserl dan
Heidegger di Frieberg. Ia menulis disertasi doktor kedua di bawah Heidegger,
dan menjadi Privatdozent di University of Marburg. Gadamer pernah menyatakan
bahwa ia berutang segalanya untuk Heidegger, pengaruhnya besar. Pendekatan
hermeneutika Heidegger dan gagasannya bahwa filsafat tidak terlepas dari budaya
bersejarah dan artistik akan membentuk dasar dari filsafat Gadamer.
Pada tahun
1937 Gadamer terpilih menjadi profesor filsafat di Marburg, dan pada tahun 1939
ia pindah ke guru besar di Universitas Leipzig. Dia mengambil posisi netral
secara politik di mata Tentara Soviet pendudukan, dan di bawah negara komunis
baru dari Jerman Timur pada tahun 1945 menjadi Rektor Leipzig. Pada tahun 1947
ia pindah Barat untuk menerima posisi di Universitas Frankfurt-am-Main. Pada
tahun 1949 ia berhasil Karl Jaspers sebagai Profesor Filsafat di Heidelberg,
dan menjadi Profesor Emeritus pada tahun 1968, terus mengajar di sana selama
lebih dari 50 tahun. Ia telah menjadi dosen tamu di universitas-universitas di
seluruh dunia, menikmati hubungan khusus dengan Boston College di Amerika
Serikat. Dia dikenal sebagai kepribadian yang supel dan lincah, dan tetap aktif
sampai tahun terakhir hidupnya.
Pada tahun
1960 ia menerbitkan Kebenaran dan Metode, yang akan menggambarkan paling
menyeluruh karyanya pada hermeneutika filosofis. Buku ini merupakan perpanjangan
dari ontologi Heidegger dalam hermeneutika kritis, dan menyerang pandangan
metode ilmiah sebagai satu-satunya rute menuju kebenaran. Hermeneutika kritis
dapat dipahami pada filosofi pemahaman dan interpretasi. Kebenaran dan
Metode meneliti bahasa sebagai wahana untuk interpretasi, dan termasuk
kritik dari kedua estetika Kantian, hermeneutika Romantis, dan historisisme
dari Dilthey. Gadamer berpendapat bahwa kebenaran sejarah, masyarakat dan
budaya hanya terungkap melalui semacam dialog: melalui mendengarkan sejarah
seperti yang terungkap dalam tradisi dan institusi dan budaya seperti yang
terungkap dalam puisi. Kebenaran ini tetap tidak dapat diakses untuk pengamatan
ilmiah. Metode hermeneutis sangat diperlukan untuk wacana sejarah dan artistik,
dan juga diterapkan dalam hukum, teologi, sastra dan filsafat.
4.
Pertanyaan
yang akan diajukan
Uraian sebelumnya juga telah sedikit dibahas mengenai zaman dimana
munculnya Hermeneutika, yaitu zaman ilmu eksak. Dimana semua ilmu pengetahuan
yang dapat dikatakan ilmiah jika memiliki basis empirisme. Awalnya,
Hermeneutika sendiri tidak terpisahkan dengan alam positivisme tersebut. Hal
ini sebenarnya menjadi dilema bagi hermeneutika itu sendiri, sebab sebagai ilmu
interpretasi seharusnya tidak akan dapat dipisahkan keberadaan pandangan si
penafsir sendiri tentang objek yang menjadi bahan kajiannya. Ditambah lagi
dengan berbagai pengalaman yang telah diperolehnya.
Betti, Schleiermacher, dan Dilthey4 adalah penggagas
aliran hermeneutika objektivisme ini. Mereka menekankan sebuah tampilan
hermeneutika haruslah steril dari intervensi historisitas penafsir itu sendiri.
Jadi, jika seorang penafsir ingin mengetahui apa yang ingin diungkapkan oleh
pengarang asli dari sebuah karya, maka penafsir harus mengetahui latar belakang
dan semuanya tentang pengarang aslinya. Jika tahap ini mampu dilampaui oleh
seorang penafsir, maka ia akan mampu mengetahui kemana tujuan atau arah si
pembuat.
Serangan
Gadamer pada keutamaan ilmu pengetahuan datang sebagai reaksi terhadap fase
dalam filsafat Anglo-Amerika dari positivisme logis, yang didirikan diri pada
metode ilmiah sebagai sarana untuk menetapkan kebenaran menghubungkan semua
ilmu. Dia percaya bahwa tidak ada ilmu yang bebas dari subjektivitas dan drive
manusia, sebagai manusia harus melakukan setiap studi ilmiah. Dia berpendapat
terhadap kemungkinan ilmu pengetahuan memiliki metode objektif untuk mencapai
pemahaman. Dia mengkritik metodologi ilmu-ilmu alam dan upaya untuk menggunakan
metodologi ini terhadap ilmu manusia. Ia menyatakan bahwa pengalaman manusia
terletak di bahasa, dan tidak tdk dari sikap merugikan, yang adalah apa yang
memberi kita perspektif dan subjektivitas. Pertahanan berkualitas Gadamer
prasangka dan tradisi akan menimbulkan tantangan yang sulit dengan budaya
dominan pasca perang Jerman.
|
Ia memunculkan sebuah antithesis dari pandangan para tokoh
sebelumnya. Bahwa upaya objektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka
bagi siapapun yang akan menafsirkan sebuah teks. Alasanya adalah ada sebuah
jurang pemisah antara pengarang dan penafsir yang tidak mungkin disatukan lagi,
serta alam pikiran penafsir tidak dapat dikosongkan dari yang namanya
kebudayaan yang telah diperolehnya sedari kecil. Inilah yang dijadikan modal
bagi penafsir. Dengan demikian upaya objektivitas murni dalam hermeneutika
hanya dalam akan menjadi halyang mustahil, sehingga yang kemudian yang dapat
dilakukan oleh penafsir adalah memproduksi makna yang terkandung dalam teks
sehingga teks itu sendiri menjadi lebih kaya makna.
Pandangan Gadamer tentang Heurmeneutika adalah bahawa ketika kita
menafsirkan teks maka kita tidak perlu mencari siapa yang menulisnya. Jadi
tergantung siapa yang menafsirkannya. Sebagai contoh ketika kita melihat suatu
lukisan, maka kita tidak perlu menanyakan makna apa yang terkandung dalam
lukisan itu kepada sang pembuat tetapi terserah kepada pada penikmat lukisan
itu dan setiap penikmat lukisan itu boleh menafsirkannya berdasarkan
pengetahuannya.
Dengan kata lain, menurut Gadamer, hermeneutika yang baik adalah
subjektifisme interpretasi yang relevan dengan keadaan penafsir saat ini. Bukan
saat dimana pengarang itu hidup dan berkarya. Gadamer dengan pemahaman
hermeneutika ini pada detik yang sama memproklamirkan diri sebagai penentang
positivisme dalam kancah hermeneutika. Ia menegaskan bahwa justru yang
terpenting dalam jurang waktu dan tradisi (budaya) itu adalah dialektika yang
produktif antara masa lalu dan masa kini. Dan ini hanya bisa dimasuki melalui
bahasa.
5.
Proposisi
yang ditawarkan
Secara kategoris, kerangka hermeneutika Gadamer berkaitan dengan
kebenaran sebagai yang tak tersembunyikan, bahasa dan pemahaman, hubungan
antara kebenaran dan metode. Ada tiga pertanyaan yang diajukan oleh Gadamer
dalam pemikirannya dan diolahnya sehingga memunculkan kesimpulan yaitu sebagai
berikut:
Pertama, Gadamer tidak pernah mengidealisasikan hermeneutika sebagai
sebuah metode, karena pemahaman yang ditekankannya adalah tingkat ontologism,
bukan metodologis. Menurutnya kebenaran menerangi metode, sedangkan metode
hanya menghambat kebenaran. Jadi untuk mencapai kebenaran kita harus melakukan
proses dialektika, dengan demikian kesempatan untuk menanyakan tentang berbagai
hal dapat dilakukan ketimbang dengan metode. Bagi Gadamer kebenaran dipahami
sebagai ketersingkapan, ketaktersembunyian, atau ada telanjang. Penyingkapan kebenaran itu harus mengacu pada
tradisi, bukan pada metode dan teori. Bagi Gadamer, manusia mampu memahami
karena ia mempunyai tradisi dan tradisi adalah bagian dari pengalaman kita,
sehingga tidak akan ada pengalaman kita yang berarti tanpa mengacu pada
tradisi. Tegasnya, pemahaman terhadap kebenaran akan menjadi entitas yang tak
tersembunyi hanya akan menjadi suatu kemungkinan jika berpijak pada tradisi.
Kedua, dalam rangka untuk memahami sebuah teks Gadamer memberikan
pandangannya tentang pemahaman terhadap bahasa itu sendiri. Konsepsi Gadamer
tentang bahasa ialah penolakannya terhadap “teori
tanda”. Alasannya adalah ketika kita menempatkan bahasa sebagai sebuah
tanda itu sama saja kita telah menghilangkan kekuatan dan mengeliminasinya, dan
akhirnya bahasa itu hanya sebagai sebuah tanda. Tak lebih. Bahasa bukan hanya
sebagai alat tetapi sebagai sesuatu kita konstruksikan untuk mengkomunikasikan
dan membedakan. Oleh karena itu, menurut Gadamer, bahasa harus dipahami sebagai
yang menunjuk pada pertumbuhan kesejarahan makna-maknanya, tata bahasa, dan
sintaksisnya sehingga dengan demikian bahasa muncul sebagai bentuk-bentuk
variatif logika, pengalaman, hakikat, termasuk pengalaman tradisi (juga
termasuk pengalaman supranatural). Jadi sebuah bahasa mencakup banyak aspek
yang mendasar, ia bukan hanya digunakan untuk menerangkan pemahaman antara
objek dengan manusia, tetapi bahkan sampai pada taraf pemikiran-pemikiran serta
pengalaman-pengalaman hidup seseorang yang terkristalisasi dalam kebudayaannya.
Bahasa dapat menerangkan sebuah (dan semua isi) dunia.
Ketiga, kebenaran yang ingin diungkapkan oleh hermeneutika terhadap
keberadaan suatu teks haruslah melampaui sebuah metode. Gadamer memang tidak
menyingkirkan kedudukan metode itu sendiri, namun Gadamer mencoba menjelaskan
bahwa kebenaran bukanlah hasil dari sebuah metode. Metode bukan merupakan
syarat mutlak sebagai sarana pemahaman kebenaran terhadap teks yang ada.
6.
Jenis
realitas sosial
Sampai
disini kita dapat sedikit memahami bahwa apa yang diinginkan Gadamer terhadap
kebenaran karya seseorang adalah hal yang sangat nyata, tak tersembunyi. Nyata
karena pengungkapan kebenaran (makna) didasarkan pada pangalaman penafsir.
Dikatakan tersembunyi, sebab kebenaran teks tersebut karena dimaknai/ diterjemahkan
terlebih dahulu oleh penafsir. Dengan memberi pengertian mengenai teks yang
ada, barulah makna itu (dari sebuah bahasa) dapat terungkap. Jadi jenis
realitas sosial yang menjadi fokus dalam hermeneutika Gadamer disini dapat
dikatakan realitas yang tak nampak/simbolik.
Pembahasan
mengenai tahap pencarian sebuah makna dalam perspektif hermeneutika Gadamer,
memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk berekspresi dalam menanggapi
fenomena (dalam sebuah teks). Dari kesan yang dapat kita tangkap tersebut maka
dapat dinyatakan bahwa hermeneutika Gadamer membahas lingkup sosial mikro,
yaitu membahas individu dalam menanggpi teks yang ditemuinya.
Berarti
realitas yang dibangun oleh Gadamer adalah realitas yang multivalent. Gadamer
menyatakan bahwa satu realitas yang terjadi dalam waktu yang berbeda maka
tafsirnya juga berbeda. Sebagai contoh, sebuah peristiwa bersejarah pada tahun
1965 di Indonesia yang dikenal sebagai peristiwa G30S/PKI oleh pemerintah
mungkin dianggap sebagai peristiwa coup d’etat, yang harus diberantas dan
dihilangkan dari bumi Indonesia namun di sisi lain oleh para korban mungkin
bisa dianggap sebagai peristiwa yang mengerikan, penghilangan harga diri dan
masa depan. Belum lagi pandangan para jagal (pembunuh) pada masa pembersihan
Indonesia dari unsur G30S/PKI, mungkin dia beranggapan bahwa apa yang
dilakukannya adalah sekedar melaksanakan tugas yang tidak perlu lagi dipertanyakan
untuk apa, bagaimana hasilnya dan efeknya bagi kehidupannya di kemudian hari.
7.
Penjelasan
Yang ditawarkan
Model dasar pemahaman bahwa Gadamer
akhirnya tiba pada Truth and Method. Dijelaskan bahwa sebuah percakapan
melibatkan pertukaran antara mitra percakapan yang berusaha membuat kesepakatan
tentang beberapa hal yang dipermasalahkan, akibatnya, seperti pertukaran tidak
pernah sepenuhnya di bawah kendali baik lawan bicara, tetapi lebih ditentukan
oleh materi yang dipermasalahkan. Percakapan selalu terjadi dalam bahasa dan
Gadamer memandang pemahaman seperti bahasa bisa dimediasi. Karena baik
percakapan dan pemahaman melibatkan dan mendatangkan kesepakatan, sehingga
Gadamer berpendapat bahwa semua pemahaman melibatkan sesuatu seperti bahasa
yang sama, meskipun bahasa yang sama yang itu sendiri terbentuk dalam proses
pemahaman itu sendiri. Dalam hal ini, segala akal, menurut Gadamer,
interpretatif, dan, sejauh semua interpretasi melibatkan pertukaran antara
familiar dan asing, sehingga semua interpretasi juga translative.
Selain komitmen Gadamer terhadap
pemahaman berbahasa, dia juga melakukan tindakan untuk melihat pemahaman pada
dasarnya terletak pada masalah artikulasi konseptual. Ini tidak menutup
kemungkinan modus lain dari pemahaman, tetapi tidak memberikan keutamaan bahasa
dan conceptuality dalam pengalaman hermeneutik. Memang, Gadamer mengambil
bahasa bukan hanya beberapa instrumen dengan cara yang kita mampu untuk
terlibat dengan dunia, tetapi sebagai gantinya sangat media untuk keterlibatan
tersebut.
Gadamer menyatakan bahwa bahasa
adalah cakrawala universal pengalaman hermeneutik, ia juga mengklaim bahwa
pengalaman hermeneutik itu sendiri universal. Ini bukan hanya dalam arti bahwa
pengalaman pemahaman akrab atau di mana-mana. Universalitas hermeneutika
berasal dari klaim eksistensial untuk hermeneutika Heidegger yang maju pada
tahun 1920 dan bahwa Gadamer dibuat menjadi ide sentral dalam pemikirannya
sendiri. Hermeneutika menyangkut modus dasar kita berada di dunia dan pemahaman
demikian fenomena dasar dalam keberadaan kita. Kita tidak bisa kembali di balik
pemahaman, karena untuk melakukannya akan menganggap bahwa ada modus kejelasan
yang sebelum pemahaman. Hermeneutika demikian ternyata universal, tidak hanya
dalam hal pengetahuan, baik dalam 'ilmu manusia' atau di tempat lain, tetapi
untuk semua pemahaman dan, memang, filsafat itu sendiri. Filsafat adalah, pada
intinya, hermeneutika. Klaim Gadamer untuk universalitas hermeneutika adalah
salah satu titik eksplisit pada masalah dalam perdebatan antara Gadamer dan Habermas,
tetapi juga dapat dilihat sebagai, dalam arti tertentu.
8.
Metodologi
yang digunakan
Hermeneutika Gadamer
adalah refleksi kritis tentang pemahaman dan interpretasi yang berlandaskan
ontology keterbatasan temporal Dasein, sebuah hermeneutika yang tidak
mengobjektivasi pengalaman dan amat sadar dengan historikalitas pemahaman.
Bahwa diwilayah pengalaman manusia tentang dunia, terdapat kebenaran-kebanaran
yang tak tertanggulangi oleh metode-metode ilmiah ilmu pengetahuan alam. Disini
poin terpentingnya bukanlah tentang adanya kebenaran-kebenaran lain yang
terdapat diluar jangkauan metode ilmiah, tetapi lebih kearah kebenaran yang
mengandung subjektifitas/ pengalaman penafsir.
Dari sini, lahirlah pandangan bahwa setiap pemahaman dan teori pemahaman
tidak akan bisa mengantarkan manusia pada objek dalam diri sendiri, sebab
hakikat pengalaman dan pemahaman adalah historis, dan tidak terbatas.
Di hampir
semua daerah, pendekatan Gadamer ditandai, bukan oleh upaya untuk menerapkan
teori yang sudah ada ke domain yang bersangkutan, melainkan oleh usaha untuk
berpikir dari dalam domain tersebut, dan dengan cara yang penuh perhatian untuk
itu . Seperti komentar Gadamer di Truth and Method 'aplikasi bukanlah
berikutnya atau hanya bagian sesekali fenomena pemahaman, tapi juga menentukan
secara keseluruhan dari awal' (Gadamer, 1989b, 324). Teori dan aplikasi tidak
terjadi, maka, dalam pemisahan dari satu sama lain, tetapi merupakan bagian
dari hermeneutis 'praktek' single. Dengan
demikian kita bisa mengatakan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Gadamer
adalah pendekatan Kualitatif.
9.
Unit
analisis yang digunakan
Unit analisis yang diguanakan
Gadamer dalam memahami sesuatu kebenaran adalah terletak pada pemahaman individu-individu.
Gadamer menegaskan tentang sifat terbatas manusia sehingga manusia mengetahui
dan mengajak kita untuk tetap terbuka satu sama lain. Ini adalah keterbukaan
untuk berdialog dengan orang lain yang melihat Gadamer sebagai dasar untuk
solidaritas yang lebih dalam. Dengan demikian unit analisis yang dilakukan oleh
gadamer adalah unit mikro, yang melihat aktor yang berpedan di dalamnya adalah
aktor yang otonom.
10. Bias keberpihakan dan Berada dalam
Mazab apa
Pemikiran Gadamer mulai dan selalu
tetap terhubung dengan pemikiran Yunani, khususnya Plato dan Aristoteles. Dalam
hal ini, keterlibatan awal Gadamer dengan Plato, yang terletak pada inti dari
kedua disertasi doktor dan habilitasi ('Dialektis
Etika Plato) yang dibuatnya pada tahun 1928, hal itulah yang menentukan
dari banyak karakter dan arah filsafat pemikirannya. Di bawah pengaruh guru
awal seperti Hartmann, serta Friedlander, Gadamer mengembangkan pendekatan
untuk Plato yang menolak gagasan dari setiap 'tersembunyi' doktrin dalam
pemikiran Plato, melihat bukan untuk struktur dialog Platonis diri mereka
sebagai kunci untuk memahami filsafat Plato.
Menurut Gadamer satu-satunya cara
untuk memahami Plato, seperti Gadamer melihatnya, adalah dengan bekerja melalui
teks Platonis dengan cara yang tidak hanya masuk ke dalam dialog dan dialektika
diatur dalam teks-teks, tetapi juga mengulangi bahwa gerakan dialogis dalam
upaya pemahaman sebagai tersebut. Selain itu, struktur dialektika pertanyaan
Platonis juga menyediakan model untuk cara pemahaman yang terbuka untuk masalah
tersebut pada masalah melalui membawa diri dipertanyakan bersama dengan materi
itu sendiri. Di bawah pengaruh Heidegger, Gadamer juga mengambil, sebagai
elemen sentral dalam pemikirannya, ide phronesis ('kebijaksanaan
praktis') yang muncul dalam Buku VI Etik Nichomachean Aristoteles. Untuk
Heidegger konsep phronesis adalah penting, tidak hanya sebagai sarana
memberikan penekanan kepada kami praktis 'menjadi-in-dunia atas dan melawan
ketakutan teoritis, tetapi selain itu dapat dilihat sebagai merupakan modus
wawasan beton kita sendiri situasi (baik situasi kita praktis dan, yang lebih
mendasar, situasi eksistensial kita, maka phronesis merupakan modus
self-knowledge).
Cara di mana Gadamer conceives
pemahaman, dan interpretasi, adalah sebagai hanya seperti mode berorientasi
praktis wawasan-mode wawasan yang memiliki rasionalitas sendiri tereduksi untuk
setiap aturan sederhana atau seperangkat aturan, yang tidak dapat secara
langsung diajarkan, dan bahwa selalu berorientasi pada kasus tertentu. Konsep phronesis
sendiri bisa dilihat sebagai memberikan penjabaran tertentu dari konsepsi
dialogis pemahaman Gadamer telah ditemukan di Plato, dan, diambil bersama-sama,
kedua konsep ini dapat dilihat sebagai menyediakan titik awal yang penting untuk
pengembangan hermeneutika filosofis Gadamer .
Dari langkah yang dilakukan tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk memahami apa
yang diinginkan Gadamer tentang arti sebuah kebenaran itu sendiri dan proses
pemunculan sebuah kebenaran, yaitu dengan menyediakan/ mengadakan berbagai
pertanyaan kepada diri (dialektika) untuk dicoba dicari jawaban atas pertanyaan
tersebut. Penilaian terhadap fenomena (teks) yang ada inilah oleh Gadamer
tentang hermeneutikanya. Bertolak dari hal tersebut maka dapat dinyatakan bahwa
Gadamer lebih berpihak pada mahzab Cartesian, yaitu mencoba mencari kebenaran
dari sebuah fenomena (teks).
DAFTAR
PUSTAKA
Muzir,
Inyak Ridwan. 2012. Hermeneutika
Filosofis Hans-Georg Gadamer. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Turner, Bryan S. 2012. Teori Sosial
dari Klasik Sampai Postmoder. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
http://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.iep.utm.edu/gadamer/&prev=/search%3Fq%3Dgadamer%2Bbiography%26biw%3D1366%26bih%3D674
di unduh pada 26 Maret 2014
http://www.hnet.org/reviews/showrev.php%3Fid%3D10007&prev=/search%3Fq%3Dgadamer%2Bbiography%26start%3D10%26sa%3DN%26biw%3D1366%26bih%3D674
diunduh pada 26 Maret 2014
http://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=http://muse.jhu.edu/journals/ckn/summary/v011/11.2krajewski.html&prev=/search%3Fq%3Dgadamer%2Bbiography%26start%3D10%26sa%3DN%26biw%3D1366%26bih%3D674
diunduh pada 26 Maret 2014
http://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.egs.edu/library/hans-georg-gadamer/biography/&prev=/search%3Fq%3Dgadamer%2Bbiography%26biw%3D1366%26bih%3D674
di unduh pada 26 Maret 2014
http://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer&prev=/search%3Fq%3Dgadamer%2Bbiography%26biw%3D1366%26bih%3D674
di unduh pada 26 Maret 2014
http://translate.google.com/translate?hl=id&sl=en&u=http://plato.stanford.edu/entries/gadamer/&prev=/search%3Fq%3Dgadamer%2Bbiography%26biw%3D1366%26bih%3D674
di unduh pada 26 Maret 2014
0 comments:
Posting Komentar