Kurikulum Berbasis Kebingungan
Oleh: Fitrotul Barokah
"Masyarakat hanya punya keinginan sederhana terhadap kurikulum baru, yakni anak mereka lebih mudah mengikuti pelajaran"
TAHUN 2013 merupakan tahun penting bagi dunia pendidikan di
Indonesia. Kurikulum tahun 2006 akan diubah, dalam terma pemerintah
supaya lebih enak didengar: disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Rencana itu merupakan hajatan besar bagi guru. Sama halnya pada awal
pemberlakuan kurikulum baru sebelumnya, guru sibuk aka...
mengikuti
sosialisasi dan diklat.
Sebentar lagi, buku-buku baru akan menghiasi etalase toko buku,
lengkap dengan label bahwa telah disesuaikan dengan kurikulum terbaru.
Perubahan kurikulum telah kali ke-9 dilaksanakan, sejak Indonesia
merdeka. Paling singkat adalah kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis
kompetensi (KBK). Hanya dua tahun berselang, berganti menjadi kurikulum
2006 atau kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Masyarakat awam merasa bingung dengan pergantian yang sangat cepat
ini. Teori pendidikan tidaklah mempan untuk menjawab kebingungan itu.
Guru pun mengalami kebingungan hingga memunculkan pelesetan ''kurikulum
berbasis kebingungan'' (KBK) dan ''KaTeSiaPe''.
Hal itu senasib dengan CBSA yang dipelesetkan menjadi ''catet buku
sampai abis'' atau metode contextual teaching and learning (CTL) yang
berubah makna menjadi ''catet tinggal lunga'', atau dalam Bahasa
Indonesia berarti catat lalu ditinggal pergi.
Kebutuhan mengganti kurikulum bermula dari pemerintah. Pergantian itu
sebenarnya merupakan kewajaran melihat perkembangan situasi politik,
sosial budaya, ekonomi, dan iptek. Dapat pula dimaknai sebagai upaya
mempersiapkan generasi muda supaya siap menghadapi perubahan zaman.
Realitasnya, tujuan mulia dalam pergantian kurikulum tidak mudah
diwujudkan. Pembelajaran tuntas sebagaimana diinginkan KTSP belum mampu
diterapkan secara jujur.
Guru terpaksa memberikan nilai tuntas padahal hasil penilaiannya
belum tuntas. Alasan utamanya adalah demi masa depan peserta didik.
Seiring dengan dipakainya nilai rapor pada perhitungan nilai
kelulusan, memicu sekolah tertentu menyulap nilai ketuntasan. Jika guru
harus menyelenggarakan pembelajaran remedial terus-menerus akan
terbentur waktu. Perbedaan kurikulum tak membuat proses pembelajaran di
kelas berubah total. Buku teks dan rapor bolehlah berbeda, tapi di kelas
terjadi hal yang serupa.
Mempermudah Siswa
Kurikulum yang pernah ada dan yang saat ini diberlakukan adalah
produk pemikiran para ahli pendidikan dan pemerintah. Namun itu menjadi
bumerang tatkala kurikulum baru mulai diterapkan. Karena dianggap bukan
kebutuhan guru maka penerapan di kelas menjadi tumpul dan hanya sebatas
formalitas.
Pemerintah seyogyanya belajar dari pengalaman, perlu penanaman sejak
dini bahwa perubahan kurikulum juga merupakan kebutuhan guru. Cara
mengomunikasikan perubahan kurikulum ini dipandang sebagai titik lemah
pemerintah. Pemberitaan yang sepotong-sepotong di media massa tentang
kurikulum baru bukan cara bijak.
Pernyataan penghapusan mapel IPA dan IPS di SD bisa memicu pertanyaan
yang sesat. Muncul lagi pernyataan bahwa akan ada penambahan jam
pelajaran, dan hal itu memicu reaksi negatif dari beberapa kalangan
pendidik. Reaksi tersebut sudah barang tentu menjadikan kurikulum 2013
berpeluang dicap tidak berpihak pada guru.
Pada akhirnya ketika sudah sampai ke tangan guru, kurikulum ini tak
sempat dipelajari secara utuh dan hanya bernasib sebagai penghias meja.
Sebaiknya pejabat Kemendikbud bersabar untuk tidak berkomentar terhadap
kurikulum baru itu sampai tiba saatnya ketika kurikulum ini selesai
disusun.
Masyarakat hanya punya keinginan sederhana terhadap kurikulum baru,
yakni anak mereka lebih mudah mengikuti pelajaran. Kurikulum itu juga
perlu diupayakan sederhana sehingga guru tidak makin repot dan kewalahan
menyusun administrasi pembelajaran. Kesederhanaan itu akan membuat guru
lebih mudah mencerna sehingga pada gilirannya mudah pula menerapkan di
kelas. (10)
-- Fitrotul Barokah, guru SMP 5 Pagentan Kabupaten Banjarnegara
0 comments:
Posting Komentar