Meneliti Peran Kodam
Oleh: Asvi Warman Adam
DAVID T Johnson (1976) memaparkan enam skenario yang bisa dijalankan
Ame-rika Serikat menghadapi situasi memanas di Indonesia menjelang 1965,
yaitu, pertama; membiarkan, kedua; membujuk Soekarno mengubah
kebijakan, ketiga; menyingkir-kan Soekarno, keempat; mendorong Ang-katan
Darat mengambil alih kekuasaan, ke-lima; merusak kekuatan PKI, keenam;
merekayasa kehancuran PKI, sekaligus kejatuhan Soekarno.
Ternyata....
skenario terakhir dianggap paling menguntungkan dan tepat untuk
dilaksanakan. Tulisan Coen Hotzappel (Journal of Contemporary Asia, vol
2, 1979) bisa dianggap dalam konteks skenario keenam.
Sebagaimana diketahui, Operasi G30S dilakukan oleh tiga pasukan, yaitu
Pasopati, Pringgodani (dalam versi resmi sejarah disebut Gatotkaca), dan
Bimasakti.
Penculikan para jenderal dilakukan pasukan Pasopati, yang kemudian
menyerahkan kepada pasukan Pringgodani yang mengkoordinasi aksi di
Lubang Buaya. Adapun pasukan Bimasakti bertugas menguasai RRI,
telekomunikasi, dan teritorial. Bersumberkan hasil pengadilan Untung dan
Nyono, Hotzappel mencurigai kegiatan pasukan Pringgodani yang melakukan
kudeta yang dirancang untuk gagal.
Usaha pembunuhan beberapa jenderal yang belum semuanya meninggal
setibanya dibawa ke Lubang Buaya dilakukan oleh pasukan Pringgodani.
Gugurnya para perwira AD itu menyebabkan Presiden Soekarno tak mau
mendukung gerakan tersebut, bahkan memerintah Brigjen Soepardjo
menghentikan operasi.
Hotzappel menuding Mayor Udara Sujo-no dan Sjam sebagai tokoh sentral
yang mengendalikan pasukan Pringgodani. Plot yang tak matang tersebut
menyebabkan G30S bisa cepat ditumpas, dan PKI yang dianggap dalang
kudeta, dihancurkan. Adapun Soekarno yang tidak mau mengutuk PKI,
dijatuhkan.
Peran Soeharto
Analisis Soebandrio dalam buku Kesak-sianku tentang G30S, juga menarik.
Ia melihat ’’keterlibatan’’ Soeharto melalui dua ka-tegori (bekas) anak
buahnya di Kodam Diponegoro.
Pertama; Letkol Untung dan Latief yang akan menghadapkan Dewan Jenderal
kepada Presiden Soekarno, dan ini sepengetahuan Soeharto.
Kedua; Yoga Sugama dan Ali Moertopo, yang dulu berjasa melakukan manuver
dan operasi intelijen untuk menjadikan Soeharto sebagai Pangdam
Diponegoro. Yoga kemudian ditarik Soeharto ke Jakarta menjadi Kepala
Intel Kostrad pada Januari 1965, ketika ia sedang bertugas sebagai atase
militer di Yugoslavia.
Soebandrio meragukan Soeharto pulang ke rumah setelah membesuk anaknya,
Tommy, di Rumah Sakit Gatot Soebroto pada 30 September malam. Rasanya
mustahil esok paginya Soeharto dibangunkan tetangga guna memberitahukan
tentang penculikan beberapa jenderal. Pak Ban punya dugaan kuat Soeharto
bermalam di markas Kostrad untuk memonitor perkembangan peristiwa,
menganalisis situasi, dan mempersiapkan langkah yang akan diambil.
Yang terjadi kemudian pada 1 Oktober 1965, sama-sama diketahui umum.
Yang menarik, trio pertama (Soeharto-Untung-Latief) adalah trio untuk
dikorbankan, dan yang dipakai selanjutnya trio kedua (Soeharto-Yoga
Sugama-Ali Moertopo). Kedua trio tersebut berasal dari Kodam Diponegoro.
Letkol Untung hingga menjelang akhir hayat merasa yakin tak akan
dieksekusi, seperti dituturkan kepada Subandrio di penjara Cimahi.
Keyakinannya itu mendasarkan bahwa Soeharto adalah bekas komandannya,
dan dianggap sebagai kawan dalam peristiwa G30S. Latief juga bekas
bawahan Soeharto tapi merasa dikhianati seperti terungkap dalam pledoi
sekaligus memoarnya.
Mengenai tanggal 11 Maret 1966, Soebandrio mengungkapkan keganjilan
tingkah Soeharto yang tak hadir dalam rapat kabinet hari itu dengan
alasan sakit. Padahal sorenya ia memimpin rapat di markas Kostrad.
Menurut Pak Ban, jika Soeharto hadir pada sidang kabinet itu ia akan
menghadapi kesulitan karena waktu itu di depan Istana ada demonstrasi
mahasiswa.
Selain itu, ada pasukan yang tidak dikenal (kemudian diketahui sebagai
pasukan yang dipimpin oleh Kemal Idris).Tentu Presiden Soekarno akan
menyuruhnya menghadapi mahasiswa dan tentara, yang justru digerakkannya
untuk mengancam Soekarno.
Tanggal 11 Maret 1965, tiga jenderal setelah berapat di rumah Soeharto
di Jalan H Agus Salim pergi menemui Soekarno. Kesaksian Soebandrio
menggambarkan ada unsur tekanan dari tiga jenderal itu kepada Bung
Karno.
Meskipun tanpa todongan senjata, dalam pertemuan itu tergambarkan jelas
unsur keterpaksaan Soekarno untuk mengeluarkan beleid.
Soebandrio kemudian menyimpulkan rangkaian peristiwa, dari 1 Oktober
1965 sampai 11 Maret 1966, sebagai kudeta merangkak melalui empat tahap.
Pertama; menyingkirkan saingan di Angkatan Darat, seperti A Yani dan
lain-lain. Kedua; membubarkan PKI yang merupakan rival terberat tentara.
Ketiga; melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno dengan menangkap 15
menteri Soekarnois, termasuk Soebandrio. Keempat; mengambil alih
kekuasaan dari tangan Soekarno.
Mengenai sepak terjang trio Soeharto-Yoga-Ali Murtopo, ada hal menarik
sebagaimana wawancara Heru Atmodjo dengan Carmel Budiardjo (dimuat dalam
buletin ’’Tapol’’ tahun 2000). Misalnya tentang pasukan dari Jateng dan
Jatim yang diperintah datang ke Jakarta dengan peralatan tempur,
sebelum 5 Oktober 1965.
Ali Moertopo berperan mengendalikan pasukan Kostrad yang ada di Monas.
Dia punya kedekatan dengan Dul Arip yang memimpin pasukan Pasopati, dan
dengan Jahurub yang gagal memimpin penculikan di rumah AH Nasution.
Jahurup kemudian membubarkan pasukannya di Tambun Bekasi, adapun Dul
Arief melarikan diri ke Brebes. Jahurup dan Dul Arief kemudian
menghilang dan tak pernah muncul dalam sidang Mahmilub. Menurut Heru,
ada saksi menuturkan bahwa Dul Arief dihabisi oleh Ali Moertopo.
Persoalan Intern
Kasus itu berhubungan dengan anggota Kodam Diponegoro. Memang kodam ini
layak diteliti, karena baik pelaku G30S maupun pemberantasnya,
kebanyakan berasal dari sana. Tokoh penggerak utama gerakan itu, baik di
Jakarta maupun di Jateng, berasal dari kesatuan itu, kecuali Brigjen
Soepardjo.
Pasukan yang dipanggil ke Jakarta adalah Batalyon 454 Jateng dan 530
Jatim. Panggilan pertama tanggal 15 September 1965, dan kedua lewat
radiogram nomor 239/9 tanggal 21 September 1965.
Yang masih menjadi misteri adalah Kolonel Suherman dan kawan-kawan yang
sekitar 48 jam menguasai Jateng, setelah itu menghilang tanpa jejak.
Waktu itu Suherman asisten I, Kolonel Maryono asisten III, dan Letkol
Usman asisten IV.
Suherman baru pulang dari AS, dan dilatih dalam bidang intelijen.
Mungkinkah seseorang yang sudah dikatakan ’’dibina PKI’’ lolos screening
dan bisa mengikuti pendidikan militer di AS?
Dengan mengumpulkan data lengkap mengenai keterlibatan Kodam Diponegoro,
baik sebagai pelaku maupun pembasmi G30S, mungkinkah nanti bisa
disebutkan bahwa G30S itu persoalan intern Kodam itu? Tugas sejarawan
dari Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Semarang mengkaji
persoalan itu secara komprehensif. (10)
– Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI
0 comments:
Posting Komentar