Urgensi Kurikulum Pendidikan Humanis
Oleh: Moh Yamin
Banjamasin Post. Konflik antarsiswa yang berujung tawuran dan jatuhnya korban kerap muncul di banyak sekolah negeri ini. Tidak peduli, apakah sekolah tersebut berstatus negeri maupun swasta.
Itulah yang terjadi kepada pelajar SMA 6 vs SMA 70, Bulungan, Jakarta Selatan (24/9/12). Biasanya konflik tersebut muncul disebabkan perbedaan pendapat antara siswa, adanya kelompok (geng) di setiap sekolah atau karena memiliki ego masing-masing sehingga tidak ada yang mau mengalah demi menghindari konflik dan....
lain seterusnya.
Sekolah ibarat rimba, siapa yang kuat, maka dia atau mereka yang akan menang sedangkan yang lemah akan kalah. Mencermati persoalan tersebut, pihak sekolah sudah selayaknya jangan sampai membiarkan preseden buruk tersebut berulang terjadi. Sebab bila terus bermunculan, ini menunjukkan bahwa sekolah gagal mendidik siswa menjadi anak didik yang humanis dan toleran.
Sekolah tidak berhasil menciptakan nalar anak didik yang berpandangan arif dalam menyelesaikan setiap masalah. Sekolah selama ini hanya menjadi ruang ritualitas formalitas yang tidak mampu membangun sebuah proses pendidikan serta pembelajaran yang mendidik. Sekolah hanya sebuah gedung dengan segala anak pinaknya yang tidak membawa perubahan bermakna bagi kehidupan anak didik.
Lembaga pendidikan ini tidak memiliki upaya serius dalam membentuk sikap dan pola hidup anak didik yang bisa menyelesaikan persoalan melalui dialog. Alih-alih sekolah bertujuan tidak hanya mencerdaskan namun memberadabkan anak didik, itu masih sebatas wacana an sich.
Secara tegas, sekolah tidak hanya mampu membangun nalar kecerdasan anak didik dalam tingkat intelligence quotient (IQ) namun berusaha mengantarkan anak didik berparadigma lemah lembut dalam berkumpul sesama temannya (emotional quotient/EQ), tidak menyombongkan diri dan lain sejenisnya secara konsisten, ternyata hal sedemikian belum mampu dilakukan pihak sekolah.
Padahal, sekolah dianggap berhasil membimbing anak didik bila telah mencakup IQ dan EQ. Oleh sebab itu, pihak sekolah, terutama para pendidik mulai dari taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat harus cerdas dalam membuat lesson plan (rencana pembelajaran) yang tidak hanya membangun kapasitas kemampuan anak didik di ranah IQ semata akan tetapi juga di wilayah EQ. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak boleh ditinggalkan.
Biasanya, materi ajar tersebut terkait dengan ilmu humaniora. Ada satu konsep pendidikan yang cukup menarik dijadikan prinsip dasar pembuatan lesson plan yang disebut “pedagogi pendidikan perdamaian” dan itu perlu diulas secara lebih detail.
Secara tegas, pedagogi pendidikan perdamaian menyebutkan bahwa materi pembelajaran yang disampaikan seorang pendidik pada anak didik harus membangun kesadaran sosial sangat tinggi supaya bisa saling menghormati perbedaan dan keberbedaan.
Seorang pendidik harus mampu menciptakan karakter anak didik untuk tidak melakukan justifikasi kebenaran mutlak versi masing-masing bila berbeda pendapat sebab kebenaran pendapat itu adalah relatif. Sehingga seorang pendidik pun jangan selalu menggunakan teks yang ada dalam naskah buku ajarnya akan tetapi berupaya mengeksplorasi teks-teks lain di luar naskah buku ajar yang dapat memperluas pandangan hidup anak didik selama masih memiliki hubungan dengan materi ajar.
Seorang pendidik dituntut lebih senang membaca banyak buku bacaan dalam satu disiplin tertentu bila perlu lintas disiplin sebagai referensi tambahan sebab hal sedemikian merupakan modal utama dalam memperkaya khazanah pengetahuan. Membaca buku-buku yang lebih menekankan toleransi atas setiap perbedaan dan keberbedaan sangat dipentingkan ketimbang buku-buku yang bernuansa garis keras, sangat membenci toleransi.
Mengutip slogan UNESCO tentang dekade culture of peace pada 2001-2010, budaya perdamaian adalah kumpulan nilai, sikap dan cara pandang hidup yang menolak kekerasan serta menghindari konflik dengan mencari akar persoalannya untuk dipecahkan melalui dialog dan negosiasi antar individu, kelompok maupun bangsa. Maka hal tersebut wajib internalisasi dalam setiap pembuatan lesson plan.
Hentikan Brutalitas
Diakui maupun tidak, realitas tawuran antarsiswa sudah menjadi konsumsi bacaan dan tontonan tiada henti baik di media cetak maupun elektronik. Sudah saatnya para pendidik bergerak cepat dan tangkas dalam menanggulangi persoalan kehidupan anak didiknya, jangan dibiarkan berlarut-larut.
Para pendidik harus menyiapkan lesson plan yang menekankan toleransi, kemanusiaan dan solidaritas antar sesama. Para pendidik harus serius menggarap pendidikan sebab pendidikan itu membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berperilaku baik.
Bangsa ini beraneka ragam, begitu pula latar belakang hidup setiap anak didik. Sehingga mereka pun harus mendapat sebuah pandangan hidup yang lebih terbuka dari pada tertutup terhadap segala keanekaragaman yang dimiliki negeri ini.
Sekolah adalah miniatur kehidupan bagaimana para anak didik bisa hidup dan mereka kemudian mampu terjun ke wilayah yang lebih luas, di tengah masyarakat.
Mengutip pendapat Driyarkara, pendidikan memiliki tujuan guna memanusiakan manusia muda, yang disebut homonisasi dan humanisasi. Lebih tepatnya, manusia dipimpin dengan cara sedemikian rupa supaya ia bisa berdiri, bergerak, bersikap dan bertindak sebagai manusia. Sehingga ia kemudian memiliki kebudayaan yang tinggi. (*)
Pengajar di FKIP Unlam
Banjamasin Post. Konflik antarsiswa yang berujung tawuran dan jatuhnya korban kerap muncul di banyak sekolah negeri ini. Tidak peduli, apakah sekolah tersebut berstatus negeri maupun swasta.
Itulah yang terjadi kepada pelajar SMA 6 vs SMA 70, Bulungan, Jakarta Selatan (24/9/12). Biasanya konflik tersebut muncul disebabkan perbedaan pendapat antara siswa, adanya kelompok (geng) di setiap sekolah atau karena memiliki ego masing-masing sehingga tidak ada yang mau mengalah demi menghindari konflik dan....
lain seterusnya.
Sekolah ibarat rimba, siapa yang kuat, maka dia atau mereka yang akan menang sedangkan yang lemah akan kalah. Mencermati persoalan tersebut, pihak sekolah sudah selayaknya jangan sampai membiarkan preseden buruk tersebut berulang terjadi. Sebab bila terus bermunculan, ini menunjukkan bahwa sekolah gagal mendidik siswa menjadi anak didik yang humanis dan toleran.
Sekolah tidak berhasil menciptakan nalar anak didik yang berpandangan arif dalam menyelesaikan setiap masalah. Sekolah selama ini hanya menjadi ruang ritualitas formalitas yang tidak mampu membangun sebuah proses pendidikan serta pembelajaran yang mendidik. Sekolah hanya sebuah gedung dengan segala anak pinaknya yang tidak membawa perubahan bermakna bagi kehidupan anak didik.
Lembaga pendidikan ini tidak memiliki upaya serius dalam membentuk sikap dan pola hidup anak didik yang bisa menyelesaikan persoalan melalui dialog. Alih-alih sekolah bertujuan tidak hanya mencerdaskan namun memberadabkan anak didik, itu masih sebatas wacana an sich.
Secara tegas, sekolah tidak hanya mampu membangun nalar kecerdasan anak didik dalam tingkat intelligence quotient (IQ) namun berusaha mengantarkan anak didik berparadigma lemah lembut dalam berkumpul sesama temannya (emotional quotient/EQ), tidak menyombongkan diri dan lain sejenisnya secara konsisten, ternyata hal sedemikian belum mampu dilakukan pihak sekolah.
Padahal, sekolah dianggap berhasil membimbing anak didik bila telah mencakup IQ dan EQ. Oleh sebab itu, pihak sekolah, terutama para pendidik mulai dari taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat harus cerdas dalam membuat lesson plan (rencana pembelajaran) yang tidak hanya membangun kapasitas kemampuan anak didik di ranah IQ semata akan tetapi juga di wilayah EQ. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak boleh ditinggalkan.
Biasanya, materi ajar tersebut terkait dengan ilmu humaniora. Ada satu konsep pendidikan yang cukup menarik dijadikan prinsip dasar pembuatan lesson plan yang disebut “pedagogi pendidikan perdamaian” dan itu perlu diulas secara lebih detail.
Secara tegas, pedagogi pendidikan perdamaian menyebutkan bahwa materi pembelajaran yang disampaikan seorang pendidik pada anak didik harus membangun kesadaran sosial sangat tinggi supaya bisa saling menghormati perbedaan dan keberbedaan.
Seorang pendidik harus mampu menciptakan karakter anak didik untuk tidak melakukan justifikasi kebenaran mutlak versi masing-masing bila berbeda pendapat sebab kebenaran pendapat itu adalah relatif. Sehingga seorang pendidik pun jangan selalu menggunakan teks yang ada dalam naskah buku ajarnya akan tetapi berupaya mengeksplorasi teks-teks lain di luar naskah buku ajar yang dapat memperluas pandangan hidup anak didik selama masih memiliki hubungan dengan materi ajar.
Seorang pendidik dituntut lebih senang membaca banyak buku bacaan dalam satu disiplin tertentu bila perlu lintas disiplin sebagai referensi tambahan sebab hal sedemikian merupakan modal utama dalam memperkaya khazanah pengetahuan. Membaca buku-buku yang lebih menekankan toleransi atas setiap perbedaan dan keberbedaan sangat dipentingkan ketimbang buku-buku yang bernuansa garis keras, sangat membenci toleransi.
Mengutip slogan UNESCO tentang dekade culture of peace pada 2001-2010, budaya perdamaian adalah kumpulan nilai, sikap dan cara pandang hidup yang menolak kekerasan serta menghindari konflik dengan mencari akar persoalannya untuk dipecahkan melalui dialog dan negosiasi antar individu, kelompok maupun bangsa. Maka hal tersebut wajib internalisasi dalam setiap pembuatan lesson plan.
Hentikan Brutalitas
Diakui maupun tidak, realitas tawuran antarsiswa sudah menjadi konsumsi bacaan dan tontonan tiada henti baik di media cetak maupun elektronik. Sudah saatnya para pendidik bergerak cepat dan tangkas dalam menanggulangi persoalan kehidupan anak didiknya, jangan dibiarkan berlarut-larut.
Para pendidik harus menyiapkan lesson plan yang menekankan toleransi, kemanusiaan dan solidaritas antar sesama. Para pendidik harus serius menggarap pendidikan sebab pendidikan itu membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berperilaku baik.
Bangsa ini beraneka ragam, begitu pula latar belakang hidup setiap anak didik. Sehingga mereka pun harus mendapat sebuah pandangan hidup yang lebih terbuka dari pada tertutup terhadap segala keanekaragaman yang dimiliki negeri ini.
Sekolah adalah miniatur kehidupan bagaimana para anak didik bisa hidup dan mereka kemudian mampu terjun ke wilayah yang lebih luas, di tengah masyarakat.
Mengutip pendapat Driyarkara, pendidikan memiliki tujuan guna memanusiakan manusia muda, yang disebut homonisasi dan humanisasi. Lebih tepatnya, manusia dipimpin dengan cara sedemikian rupa supaya ia bisa berdiri, bergerak, bersikap dan bertindak sebagai manusia. Sehingga ia kemudian memiliki kebudayaan yang tinggi. (*)
Pengajar di FKIP Unlam
0 comments:
Posting Komentar