Belajar dari Sejarah (Kilas balik Tragedi G 30 S/PKI)
Oleh : W. Aryo Suseno
Kup yang gagal yang kemudian populer dengan sebutan Gestapu
ini, kemudian diiringi dengan sebuah aksi pembalasan pembunuhan massal terhadap
mereka yang dianggap komunis oleh mereka yang anti komunis. Konflik ini telah menggenangi bumi pertiwi
dengan tangis dan banjir darah. Pembantaian massal (genosida) ini hanya dapat
tertandingi dengan pembantaian yang dilakukan rezim Pol Pot di Kamboja. Itu
korban yang meninggal, belum lagi berpuluh-puluh ribu rakyat Indonesia yang
lenyap dalam tahanan dan pembuangan, yang berpuluh-puluh tahun tidak diadili.
Genaplah sudah duka dan derita bangsa Indonesia pada tahun-tahun itu.
Sejarah yang telah banyak
dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan politik menjadikan kita buram dalam
menganalisa dan mencari kebenaran sejarah. Sejarah yang abu-abu akibat
penjungkirbalikkan dan pemlintiran
fakta ini mengakibatkan kita kurang mampu memahaminya secara obyektif.
Buku-buku mengenai G 30 S/PKI
yang terbit dan beredar setelah orde reformasi digulirkan harus kita sikapi
secara kritis, karena bukan tidak mungkin buku-buku tersebut memiliki muatan-muatan
politis. Wacana dan fakta-fakta yang disuguhkan buku-buku tersebut kadang dan
bahkan seringkali memunculkan tafsir dan penilaian yang kontradiktif antara
buku yang satu dengan buku yang lain. Rakyat Indonesia, terutama generasi
intelektual mudanya harus pandai-pandai dalam mengorek dan menggali kebenaran
sejarah. Kita jangan mudah terbawa alur opini yang teruntai dalam manuskrip tersebut,
tanpa analisa kritis dan kehendak kuat untuk mengkomparasikan dengan buku lain,
hanya dengan analisa yang jeli kita akan mampu membuat kesimpulan yang tidak
pincang namun tajam dan komprehensif.
Banyak opini yang berkembang
saat ini yang kemudian memunculkan sejumlah tanya, seperti pertanyaan sebelumnya,
Apakah memang benar PKI perancang sekaligus pelaku dari peristiwa kup
tersebut?, atau apakah PKI hanya memanfaatkan konflik yang terjadi di
internal Angkatan Darat? (yaitu konflik antara Perwira Tinggi dibawah
Nasution dan Yani yang dinilai gemar berfoya-foya oleh Perwira-perwira menengah
yang mengaku revolusioner sejalan dengan Bung Karno dibawah komando Letkol
Untung.)
Ada opini yang menyatakan
bahwa PKI hanya memanfaatkan momentum tersebut agar tidak terlempar dari peta
perpolitikan Indonesia. Asumsi yang berkembang ditubuh partai komunis ini
adalah, bahwasanya jikalau AD berhasil memegang kekuasaan pasca Bung Karno
lengser, maka mereka (AD) akan membinasakan dan mengubur partai yang berhaluan
komunis ini. PKI merupakan salah satu partai besar kala itu dan telah menjalin
kerjasama dengan Peking dibawah Mao Ze Dong. Sementara disisi lain AD lebih
berorientasi ke barat (Amerika Serikat). Asumsi ini sangat beralasan sekali
karena ketika itu AD sangat bermusuhan dengan PKI dan sama-sama berebut simpati
Bung Karno dan berambisi untuk memegang kekuasaan. Klimaks dari pertentangan
ini adalah didirikannya Dewan Revolusi oleh PKI untuk menangkal Dewan Jenderal
yang santer diisukan waktu itu.
Pemimpin Besar Revolusi
sekaligus Proklamator Kemerdekaan RI, Soekarno yang lebih familiar dengan
panggilan Bung Karno, jelas tidak akan luput dari penilaian mengingat posisi vital
beliau pada waktu itu. Pertanyaan yang bernada samapun muncul, apakah beliau
terlibat dalam peristiwa itu atau tidak?. Beliau telah menyatakan bahwa
pembunuhan (jenderal) itu adalah ”riak
didalam samudera” sebagai penggambaran dari jalannya revolusi yang
kadang memakan anak sendiri. Sebuah peristiwa yang tidak wajar yang beliau
respon dengan pernyataan yang menimbulkan tafsir seolah-olah Bung Karno tidak
mempedulikan kematian para jenderal. Inilah yang melahirkan opini bahwa
seolah-olah Soekarno terlibat dalam peristiwa ini.
Keengganan Bung Karno
membubarkan PKI yang merupakan tuntutan kuat dari rakyat, membuat beliau harus
rela tergusur oleh Sang fenomenal Jenderal Soeharto yang dikenal publik luar
negeri dengan sebutan ”The
Smilling General” atau jenderal senyum itu. Bung Karno bisa saja
mempertahankan kekuasaanya (dalam hal ini menangkal sepak terjang Soeharto).
Ini terbukti dari dukungan kuat yang diberikan militer Kodam Siliwangi,
Brawijaya dan Diponegoro (tiga pusat kekuatan terpenting militer Indonesia).
Namun jiwa seorang negarawan dan kecintaannya yang tinggi pada bangsa Indonesia
lebih beliau kedepankan. Bung karno tidak ingin melihat sesama putra pertiwi
terlibat perang saudara yang ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat. Seorang
pemimpin memiliki masa dan massanya sendiri-sendiri, era Soekarno telah berlalu
kekuasaan berpindah ketangan Soeharto.
Soeharto muncul sebagai
pahlawan baru Indonesia dengan kegesitannya menggasak PKI beserta
ormas-ormasnya dan mampu menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Kekuasaan yang beliau genggam sejak 1966, semenjak menerima surat sakti ”Supersemar”
telah menjadikan Soeharto ikon baru sejarah Indonesia. Di era pemerintahannya, beliau mampu
membawa Indonesia menjadi negara yang aman, tenteram dan sejahtera. Pernah diibaratkan
dulu menurut mitologi jawa bahwa ramalan Jayabaya (Raja Kediri) telah terbukti.
Yaitu Nusantara/Indonesia menjadi negara yang “gemah
ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo”.
Krisis moneter yang merembet menjadi krisis multidimensi
menggoyahkan kekuasaan Soeharto. KKN yang merajalela, kekuasaan yang otoriteristik yang kadang tidak segan untuk bertindak
represif, demokrasi yang hanya manis dibibir saja dan segudang problema bangsa
yang lain, adalah beberapa kemuakan rakyat pada rezim ini. Mahasiswa, politisi
pro demokrasi beserta rakyat berbondong-bondong unjuk rasa menuntut Soeharto
lengser. Derasnya tuntutan massa membuat beliau mesti rela ”lengser
keprabon”. Kekuasaan yang beliau cengkeram lebih dari tiga dasawarsa usai
sudah.
Namun kini nama beliaupun menjadi bahan pembicaraan dalam
berbagai diskusi formal ataupun nonformal yang membahas peristiwa berdarah ini.
Buku-buku yang beredar setelah beliau lengser, yang tersusun dari berbagai
narasumber, pledoi pembelaan aktor-aktor Gestapu dan sebagainya telah merubah
sikap pandang kita. Data-data dan pernyataan-pernyataan yang terungkap dalam
buku-buku tersebut sedikit banyak telah menyumbang dalam merubah pencitraan
beliau(Soeharto) dimata rakyat Indonesia.
Rakyat Indonesia kini memiliki banyak kacamata untuk
memandang sejarah. Satu sandaran dan juga sebagai simpulan kita dalam mengkaji sejarah yaitu sebuah
pepatah bijak, ”Tiada gading yang tak retak”, tiada manusia yang
sempurna dimuka bumi ini. Itulah sikap pandang yang mesti kita tumbuh
kembangkan dalam menilai pemimpin-pemimpin kita, atas semua jasa besar maupun kesalahannya.
Benar apa yang pernah terlontar dari mulut Bung Karno, ”Aku dikutuk bak bandit dan dipuja
bak dewa”,itulah konsekuensi dari seorang pemimpin
TANTANGAN INDONESIA MASA KINI DAN MASA
MENDATANG.
Untuk mewujudkan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang aman, adil dan sejahtera, tentunya segala aspek
kehidupan harus dibenahi dan terus ditingkatkan. Seluruh komponen bangsa dan
sumberdaya yang dimiliki harus dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal. Institusi
pemerintahan, peradilan, parlemen, partai politik, LSM, ormas, mahasiswa dan
sebagainya harus dibenahi dan ditingkatkan kualitasnya secara konsisten dalam
usaha memajukan bangsa.
Hari ini penguatan kehidupan demokrasi
di negeri ini semakin nampak. Orang bebas menyalurkan aspirasi mereka, partai
politik makin riuh dalam kancah perpolitikan nasional. Kondisi yang demikian
mesti dipelihara dan dijaga jangan sampai keluar dari koridor yang semestinya.
Kita sadari dengan adanya kebebasan orang cenderung ingin memaksakan kehendak
dan tak jarang berlaku anarkhis. Untuk itu harmonisasi pemerintahan dengan
mengembangkan demokrasi yang memegang fatsoen (tata krama) dan etika politik
harus membudaya dan dipelihara dengan baik sehingga demokrasi Pancasila sebagai
kekhasan bangsa Indonesia benar-benar terwujud. Yaitu, sebuah tatanan demokrasi
yang mengandung nilai-nilai religius, kekeluargaan, jiwa kegotong-royongan,
nasionalisme yang tinggi, keadilan dan sebagainya. Kondisi ideal yang demikian kita
rasa bukanlah sesuatu yang hanya ada pada khayalan, namun benar-benar akan
membumi di negeri ini.
Partai politik yang
memposisikan diri sebagai oposisi kita harapkan mampu memainkan perannya secara
efektif, yaitu mengontrol pemerintahan dari pusat hingga lapisan pemerintahan
yang paling bawah, hal ini akan membantu terciptanya ”good governance”,
sebuah tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, adil dan berpihak kepada
rakyat. Adanya fungsi kontrol yang efektif terhadap kebijakan yang diambil
pemerintah, dimana pemerintahpun terbuka akan kritik dan saran yang konstruktif
terhadap kebijakannya, dan bersedia melakukan koreksi maka yang muncul adalah
kebijakan-kebijakan yang pro rakyat, demi kepentingan rakyat dan kita sebagai
warga negara yang baik harus mendukungnya dengan penuh tanggungjawab.
Apabila proses politik pada
arena demokrasi ini berjalan sesuai jalurnya dan bangsa ini semakin dewasa
hidup dalam era demokrasi, serta dilandasi dengan semangat nasionalisme yang
tinggi, maka kudeta yang bisa
disebabkan ketidakpuasan terhadap kinerja dan kredibilitas pemerintah, ataupun
untuk sekadar memenuhi hasrat berpetualang politik semata dapat dihindari.
Pustaka:
Giebels, Lambert J.2005. Pembantaian yang ditutup-tutupi: Peristiwa fatal disekitar kejatuhan
Bung Karno. Terjemahan Kapitan-Oen B.A.
Jakarta: Grasindo
Penulis adalah Pencinta
Sejarah Indonesia
0 comments:
Posting Komentar