HISTORY AS FACT & HISTORY AS WRITEN (Sejarah Sebagai Fakta dan Sejarah Yang Tertulis)
A. History as Facts
(Sejarah Sebagai Fakta)
Obyektifitas
Sejarah
Peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa lampau merupakan materi yang sangat penting bagi ilmu
sejarah. Melalui peristiwa-peristiwa tersebut, ilmu sejarah mendapat suatu
gambaran tentang kehidupan manusia pada masa lampau, atau dapat mengetahui
sebab-akibat terjadinya suatu peristiwa. Namun tidak semua peristiwa sejarah
mempunyai bukti yang tertulis, ada pula yang berasal dari bukti lisan maupun
benda-benda peninggalannya.
Istilah
History as Facts dapat disederhanakan
sebagai kenyataan yang sedang berlangsung dan History as Writen adalah
sejarah yang ditulis. Pengabadian sejarah serba objek terdapat
dalam sumber sejarah meskipun serba tidak sempurna. Seolah-olah sumber-sumber
itu merupakan gudang, bahan sejarah. Sejarah sebagai kenyataan (serba-objek)
hanya dapat diketahui dengan mempergunakan bahan yang tersimpan di dalam gudang
itu. Tanpa pengabadian, tanpa sumber-sumber sejarah tidak mungkinlah sejarah
serba-objek atau sejarah yang sebenarnya dapat diungkap artinya (Ali, 2005: 21).
Berbicara
tentang Sejarah sebagai fakta dan sejarah yang tertulis berarti kita
membicarakan tentang Sumber Sejarah. Dasar dari penggunaan sumber sejarah
adalah cita-cita mencari kebenaran tentang kejadian peristiwa yang sudah
terjadi. Penggunaan itu harus menghasilkan ketentuan-ketentuan tentang
kejadian-peristiwa atau ketentuan tentang Facts
atau fakta. Sudah barang tentu fakta yang didapatkan dari sumber-sumber sejarah
adalah benar apabila sumber-sumber itu sendiri benar. Benar dalam arti dapat
dipercaya, tidap palsu, atau shahih, yaitu tidak ada cacatnya, sehat atau
kurang suatu apa pun(Ali, 2005: 22).
Sebagai
contoh, di Muara Kaman (Kalimantan Timur diketemukan beberapa buah prasasti (batu
tulis). Penyelidikan pertama diarahkan kepada yang shahih yaitu dengan cara
memeriksa bentuk huruf serta isi cerita yang dituliskan pada batu itu. Bentuk
huruf pada prasasti itu menunjukkan abad ke-5 Masehi sebagai masa dibuatnya
prasasti itu. Isi prasasti itu melukiskan adat kebiasaan yang lazim pada abad
itu. Maka, berdasarkan persamaan itu prasasti tersebut dapat dipercaya.
Penyelidikan
tentang sumber-sumber sejarah adalah suatu keharusan ilmiah sebelum isi
sumber-sumber itu diselidiki dan akhirnya dipergunakan. Setelah kebenaran suatu
sumber terbukti, timbullah masalah cara mempergunakan sumber itu. Apakah yang
dapat kita ketahui dan apakah sumber tersebut dapat dipergunakan? Fakta apakah
yang dapat kita himpun dari sumber itu?
Pencarian
sumber sejarah ditentukan oleh minat dan perhatian orang pada suatu zaman. Oleh
sebab itu, sumber-sumber itu hanya terbatas pada beberapa pokok tertentu. Isi
itulah yang harus diambil inti sarinya sebagai fakta.
Apabila
sumber sejarah merupakan pengabadian sebagian kecil dari keseluruhan kejadian
dan peristiwa yang betul-betul pernah terjadi maka apakah Fakta sejarah itu?.
Fakta sejarah adalah intisari dari sumber-sumber sejarah, fakta-fakta itu
disimpulkan dari sumber-sumber sejarah. Fakta sejarah adalah peristiwa-peristiwa
yang benar-benar terjadi. Tinggal bagaimana seorang sejarawan memaknainya (Ali,
2005: 25)
Pertanyaannya
sekarang adalah bagaimana kita memaknasi sejarah sebagai fakta? Dan
bagaimanakah kita memaknai sejarah sebagaimana yang tertulis?
B. History
As Writen (Sejarah Sebagaimana Yang Tertulis)
Suatu fakta
sejarah tidak akan bermakna, jika peristiwa yang terjadi hanya ditulis apa
adanya. Menurut Moh. Ali fakta-fakta sejarah yang belum diberi rangka daging
dan jiwa sejarah belum bisa dikatakan sebagai sejarah. Fakta-fakta sejarah
tersebut belum merupakan sejarah dalam arti yang sebenarnya sebab fakta-fakta
itu sebenarnya hanya bahan mentah yang harus dimasak terlebih dahulu. Jika
suatu peristiwa sejarah hanya ditulis sebagaimana adanya maka peristiwa
tersebut belum memiliki arti.(Ali, 2005: 27)
Ø Subyektifitas
Penulis
Wujud
sejarah serba-obyek adalah cerita, yaitu cerita yang menghubungkan fakta-fakta itu sedemikian rupa sehingga
terdapatlah suatu keseluruhan atau kesatuan. Kesatuan fakta-fakta itu dihimpun
menurut pendapat penyusun. Adapun pendapat penyusun itu sendiri sebenarnya
merupakan pendiriannya sebagai seseorang
yang mempelajari sejarah.
Dalam
penulisan sejarah, kemampuan seorang sejarawan (penulis sejarah) sangat
diutamakan. Karena dari coretan tangan dan buah pikirannya yang mendalam akan
tersajikan cerita sejarah yang bermakna, menarik dan menimbulkan keinginan
orang untuk membaca hasil karya sejarah tersebut hingga usai. Suatu peristiwa
atau fakta sejarah yang sama, mungkin akan lain ceritanya karena yang menulis
berbeda.
Subyektifitas
penulis menentukan tulisan sejarah tersebut. Seolah-olah penyusun cerita itu
berdiri pada suatu tempat tertentu dan dari tempat itu ia melihat dan meninjau
kejadian-peristiwa yang terdapat di dalam fakta-fakta itu. Tempat di mana ia
berdiri itu menentukan sifat-sifat apa yang terlihat olehnya.
Hal-hal
pokok yang dapat menjadikan subyektifitas penulis dalam menyusun cerita sejarah
adalah sebagai berikut:
1) Daerah,
yaitu negeri (kebangsaan), wilayah (propinsi dan sebagainya), alam (pegunungan,
tanah datar, pedalaman atau kawasan pantai)
2) Golongan,
yaitu termasuk bangsa apakah penjajah, terjajah, negara-negara besar atau
negara kecil, suku, partai atau agama
3) Zaman,
yaitu dalam abad keberapakah penulis itu hidup
4) Kepribadian,
yaitu asal-usul, pendidikan dan lingkungannya.
Gabungan dari pokok-pokok 1, 2, 3, dan 4 itu
menentukan pendirian seseorang dalam arti seluas-luasnya. Maka jelaslah bahwa Daerah
asal, golongan, zaman dan kepribadian penyusun menentukan bentuk dan isi
cerita. Betapa pun besar usaha orang untuk menulis dengan sejujur-jujurnya, ia
tidak mungkin membuat lukisan sejarah yang seratus persen jujur (Ali, 2005: 61)
Ø Obyektifitas
Subyektif
Dapatkah seorang penulis cerita sejarah menyusun
cerita yang obyektif, yaitu suatu cerita yang menceritakan segala hal-ihwalnya
dengan setepat-tepatnya laksana film yang sempurna?. Obyektif laksana cermin
yang dapat memberikan gambaran yang sama sekali tidak berbeda. Sejarah yang
obyektif dalam arti ini adalah melukiskan fakta-fakta sejarah sedemikian rupa
sehingga tercapailah kenyataan “Demikianlah sesungguhnya yang terjadi!”.
Apa yang tertulis dalam cerita sejarah sebenarnya
merupakan sebagian dari penggalan cerita yang sebenarnya terjadi pada masa
lalu. Manusia sebagai penyusun sejarah tidak mungkin memasukkan semua fakta
sejarah ke dalam tulisannya. Seorang sejarawan pasti telah memilah atau
menyeleksi berdasarkan minat perhatiannya sehingga menjadikan sejarah yang
seharusnya serba-obyek justru tidak tampak.
Maka kita bisa mengatakan bahwa tidak ada sejarah
yang obyektif, karena memang sudah semestinya sejarah itu subyektif yaitu
menurut pandangan penyusunnya. Subyektif dalam arti tertentu yaitu lukisan
sejarah yang memiliki jiwa yang mempunyai kepribadian yang kuat. Seringkali
subyektif dipersamakan dengan fantasi, khayalan, isapan jempol, pemalsuan. Cerita-cerita sejarah yang dipandang
obyektif sebenarnya bukan cerita yang mengandung gerak jiwa yang bergelora dan
menarik, bahkan sekadar suatu daftar waktu, suatu tabel atau rangkaian tahun
dan fakta. (Ali, 2005: 63)
Subyektif dalam arti yang sebenarnya berdasarkan
kejujuran yaitu hajat dan tekat tidak akan berlaku curang, tidak menipu,
menyatakan sesuatu sebagai konsekuensi keyakinanya. Dengan demikian dalam
penulisan sejarah diperlukan sikap serba tidak berat sebelah meskipun obyek
yang dipilih adalah sudah menunjukan subyektifitas dari penulis itu sendiri.
Sikap jujur itu hanya mungkin apabila teropong
pendirian itu dilengkapi dengan lensa kejujuran dan disertai alat lain yakni
“mikroskop penelitian” untuk menelaah, meneliti, menggali dengan sesempurna,
seteliti, sehalus dan setajam mungkin dengan maksud mendapatkan fakta yang
sebenarnya dan sebanyak-banyaknya.
Ø Manipulatif
Sejarah
yang manipulatif itu sejarah yang seperti apa? Apakah sejarah yang apa adanya?
Ataukah sejarah yang serba menghilangkan fakta? Artinya fakta sebenarnya
ditutupi diganti dengan fakta lain? ataukah fakta sejarahnya sama akan tetapi
pemaknaannya berbeda karena tujuan tertentu?
Jawaban
yang mungkin paling mendekati kebenaran adalah fakta sejarah atau peristiwa
yang ditulis adalah nyata, riil karena sudah berlalu. Tetapi tujuan dan
penulisannya yang berbeda. Sebagai contoh, peristiwa G30S/PKI yang terjadi pada
tanggal 30 September 1965. Jelas telah terjadi manipulasi atau pembalikan fakta
tentang kejadian itu. Masih banyak multi-tafsir tentang peristiwa berdarah yang
menewaskan tujuh jenderal tersebut. Siapa tokoh atau dalang dibalik peristiwa
tersebut? Siapa yang diuntungkan dari peristiwa tersebut? Siapa yang
dikorbankan dalam peristiwa tersebut?. Dan pada akhirnya kita akan tahu seiring
berjalannya waktu bahwa peristiwa tersebut menjadikan Jenderal Soeharto
kemudian menjadi penguasa besar di Negeri ini.
Manipulasi
sejarah biasanya digunakan oleh seorang penguasa suatu negeri untuk
melanggengkan kekuasaannya. Membalikkan semua fakta yang terjadi sebenarnya
untuk kepentingannya sendiri atau mungkin atas nama negara dan demi kepentingan
kelangsungan kehidupan negara itu sendiri. Contoh lain adalah peristiwa
Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Siapa sebenarnya tokoh intelektual
dibalik serangan umum tersebut? Apakah Letkol Soeharto atau menteri Pertahanan
dan Keamanan saat itu yang juga raja Yogyakarta yaitu Sultan Hamengkubuwono
IX?.
Sejarah
dapat dimanipulasi itulah kenyataannya. Siapa yang melakukannya? Tentu penguasa
melalui tangan-tangan penyusun sejarah (sejarawan) yang mungkin sudah dicekoki
atau dipesan, di intimidasi untuk membuat cerita manipulasi tersebut. Meskipun
Seorang sejarawan memiliki independensi akan tetapi jika ia dihadapkan kepada
suatu kenyataan atau kekuasaan yang begitu besar maka kemungkinan manipulasi
tersebut dapat terjadi.
Sumber Bacaan:
Ali, R. Moh. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia.
Yogyakarta: LKiS
0 comments:
Posting Komentar