Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah
Tulisan ini adalah hasil resume buku sejarah yang di tulis oleh Sartono Kartodirdjo, pembahasan yang lugas dan mencerahkan tentang ilmu sejarah itu apa, bagaimana digunakan dan kategori apa saja yang masuk didalamnya.
Judul
Buku : Pendekatan Ilmu Sosial Dalam
Metodologi Sejarah
Penulis : Sartono Kartodirdjo
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun
Terbit : 1992
Tebal
Buku : 281 Halaman
Secara
garis besar, buku ini terbagi dalam empat bab yaitu...
Bab Pertama membahas tentang
Konsep dan Perspektif Sejarah, bab Dua
membahas tentang Rekonstruksi Sejarah, Bab Ketiga membahas tentang Sejarah dan
Ilmu Sosial dan bab keempat membahas tentang Kategori Sejarah, selanjutnya pada
bagian lampiran Sartono Kartodirdjo melampirkan tujuh (7) tulisan-tulisan
singkatnya. Dimulai dari apakah wawasan sejarah itu sampai bagaimana sejarah
nasional dan sejarah pembangunan.
Buku
karya Sartono Kartodirdjo ini memfokuskan bagaimana penggunaan ilmu-ilmu social
dalam mengungkapkan fakta-fakta peristiwa sejarah pada masa lampau. Di mulai
dari bagaimana konsep tentang sejarah dibangun, bagaimana perpektif sejarah itu
berdiri, bagaimana membangun atau merekonstruksi kembali peristiwa pada masa
lalu menjadi suatu cerita yang memiliki arti, bagaimana hubungan antara sejarah
dengan ilmu-ilmu social dan bagaimana sejarah di tulis berdasarkan kategori
tertentu.
Berikut
ini adalah hasil resume dari buku Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah:
BAB I. KONSEP DAN PERSFEKTIF
SEJARAH
Dimulai
dari sebuah rasa ingin tahu tentang suatu peristiwa secara genesis, sejarah mulai masuk di dalamnya. Melalui cerita
naratif yang memuaskan kemudian menjadi sesuatu yang menarik, kemudian sejarah
dikenal sebagai ilmu dan sejarah sebagai seni.
Teori dan
metodologi sebagai bagian pokok ilmu sejarah mulai diketengahkan apabila
penulisan sejarah tidak semata-mata bertujuan menceritakan kejadian tetapi
bermaksud menerangkan kejadian itu dengan mengkaji sebab-sebabnya, kondisi
lingkungannya, konteks sosio-kulturalnya, pendeknya, hendak diadakan analisis
secara mendalam tentang faktor-faktor kausal, kondisional, kontekstual serta
unsur-unsur yang merupakan komponen dan eksponen dari proses sejarah yang
dikaji.
Tujuan
penggambaran gejala sejarah adalah untuk memberikan makna, sedangkan penjelasan
tentang sebab akibat (kausalitas eksplanation), dalam sejarah naratif dilakukan
secara eksplisit dalam deskripsinya.
Langkah
yang sangat penting dalam membuat analisis sejarah ialah menyediakan suat
kerangka pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup pelbagai konsep dan
teori yang akan dipakai dalam membuat analisis tersebut. Metodologi dalam studi
sejarah menuntut penyesuaian yang akan terwujud sebagai perbaikan kerangka
konseptual dan teoretis sebagai alat analitis. Hal ini dapat dilakukan dengan
meminjam pelbagai alat analitis dari ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi,
politikologi, dan lain-lain.
Sebagai
permasalahan inti dari metodologi
sejarah dapat disebut masalah pendekatan. Penggambaran kita mengenai suatu
peristiwa tergantung kepada pendekatan yang kita pakai, dari segi mana kita
memandangnya, dimensi mana yang kita perhatikan, unsure mana yang diperhatikan
dan lain sebagainya.
Selanjutnya,
dijabarkan bagaimana Kesadaran Tentang Sejarah suatu bangsa, kesadaran yang
timbul setelah kemerdekaan. Kesadaran sejarah itu dapat dicapai melalui tiga
cakrawala yaitu 1) cakrawala religio-magis dan kosmogonis, 2) cakrawala
nasiosentris yang menggantikan cakrawala etnosentris, dan 3) cakrawala
colonial-elitis yang diganti dengan sejarah bangsa Indonesia secara
keseluruhan.
Perkembangan
dalam penulisan historiografi Indonesia dewasa ini mengalami proses yang sangat
cepat yang dengan demikian memerlukan pandangan-pandangan baru para sejarawan.
Selain metode naratif juga muncullah pelbagai kecenderungan metode
developmentalisme yang terlihat dari pola-pola kelangsungan, perkembangan dan
perubahan-perubahan.
Dijelaskan
bahwa apabila sejarah ingin tetap berfungsi sebagai disiplin pengungkapan atau
penemuan manusia, maka ilmu sejarah perlu mengikuti perkembangan ilmu-ilmu
social yang telah berhasil menambah perbendaharaan tentang manusia. Pendekatan
Sinkronis dan diakronis perlu dipadukan untuk mendukung berdirinya ilmu sejarah
itu sendiri.
Selanjutnya, Kartono kartodirdjo mencoba
menguraikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan sejarah. Ilmu sejarah bersifat
empiris, oleh karena itu sangat penting untuk berpangkal pada fakta-fakta yang
tersaring dari sumber sejarah, sedangkan teori dan konsep hanya merupakan
alat-alat untuk mempermudah analisis san sintesis sejarah. Sejarah dalam arti “subjektif” merupakan rekonstruksi
peristiwa sejarah yakni hasil dari penelitian yang kemudian dituliskan. Sedangkan
Sejarah dalam arti “objektif” menunjuk kepada kejadian atau peristiwa itu
sendiri yakni proses sejarah dalam aktualitasnya. Apa yang sering dibicarakan orang selama ini
tentang sejarah adalah sejarah yang bersifat subyektif. Sejarah subyektif
adalah sejarah memuat unsure-unsur dan subyek (pengarang/penulis), maka dalam
penulisannya akan cenderung kepada si penulis itu sendiri. Yang seharusnya
adalah sejarah obyektif, yaitu sejarah yang sesuai dengan aslinya
(aktualitasnya). Sejarah yang ideal adalah sejarah yang obyektif yang jauh dari
sifat-sifat subyektif (pengarang/penulis).
Dalam
merekonstruksi peristiwa diibaratkan sebagai sebuah pembangunan gedung.
Diperlukan blueprint dan layout yang diingingkan. Untuk mencapai itu maka
diperlukan suatu kerangka pikiran atau referensi yang mewadahi semua fakta yang
tidak lagi disatukan sebagai agregasi, tetapi telah tersusun dan terhubung
antara fakta yang satu dengan fakta yang lainnya yang sesuai dengan desain.
Pembatasan tentang lingkup(Scope) waktu temporal dan ruang (spatial) perlu
ditegaskan sebagai pembatas peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Selanjutnya,
apa itu Perspektif Sejarah?. Dalam
mengangan-angankan tentang masa lampau yang penuh dengan kejadian ada kalanya
timbul kekalutan karena orang lupa mana yang terjadi terlebih dahulu dan mana
yang kemudian. Urutan peristiwa secara kronologis pada masa lampau adalah
fundamental dalam setiap pengetahuan sejarah. Dimensi waktu dalam sejarah ada tiga
yaitu masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Sementara kronologi
sejarah adalah bentuk penulisan sejarah yang terdiri atas urutan-urutan
kejadian.
Selanjutnya
dijelaskan bahwa perspektif sejarah adalah adanya perbedaan kedalaman objek yang
disebabkan oleh jarak dari tempat memandangnya. Dalam melihat sejarah maka kita
harus tahu tentang kejadian yang lama dan kejadian yang baru. Agar pengetahuan
tentang fakta-fakta sejarah tidak tertumpuk dalam ingatan kita begitu saja
sebagai suatu agregasi maka perlu ada pengkonstruksian berdasarkan perspektif
sejarah itu.
Dalam
melihat secara perspektif sejarah diperlukan langkah yang disebut periodisasi.
Periodisasi adalah salah satu proses struturisasi waktu berdasarkan pembagian
atas babak, zaman dan waktu. Dalam kisah pewayangan misalnya, periodisasi
dibagi menjadi empat yaitu dwaparayuga,
tretayuga, kaliyuga dan kretayuga. Sementara di dunia Barat membagi kisah
sejarah dalam 3 periodisasi yaitu zaman kuno (-500sm), Zaman pertengahan
(500-1500) dan zaman modern (1500- sekarang)
Selanjutnya
dijelaskan bahwa perspektif historis melihat bahwa masa kini tidak terlepas
dari masa lampau dan identitasnya. Yang penting dalam pandangan dan cara
melihat obyek atau gejala masa lampau ialah bahwa setiap objek selalu mempunyai
masa lampau dan perkembangannya. Jadi perspektif sejarah akan menjelaskan masa
kini dengan memaparkan latar belakang masa lampaunya.
Perkembangan penulisan sejarah barat sejak zaman
Yunani sampai sekarang boleh dikatakan bahwa pada umumnya berupa karya-karya
yang bersifat naratif. Dan kebanyakan adalah sejarah politik. Tidak
mengherankan bahwa sejarah politik dan sejarah perang sangat menonjol dalam
historiografi di dunia Barat. Sehingga kemudian dikenal dengan istiah sejarah
konvensional atau juga disebut sejarah politik.
Selain sejarah politik, yang menonjol di dunia Barat
adalah sejarah Sosial. Sejarah social adalah setiap gejala social yang
memanifestasikan kehidupan social suatu komunitas atau kelompok. Dimensi
sejarah social sangat luas, yang mencakup segala aspek kehidupan.
BAB II. REKONSTRUKSI SEJARAH
Pada bab
ke-dua ini dijelaskan tentang sejarah sebagai sistem, sejarah sebagai unit,
sejarah nasional sebagai unit. Pada penjelasan awal tidak dipersoalkan secara
mendalam apakah sejarah sebagai satu kesatuan senantiasa merupakan suatu
sistem. Konsep sistem dalam rekonstruksi sejarah hanya dipakai sebagai alat
analisis dan sintesis.
Pendekatan
sistem memusatkan perhatian pada kesatuan yang mencakup unsure-unsur serta
hubungan pengaruh-mempengaruhi. Yang menonjol adalah pengambilan momentum
tertentu dalam peristiwa sejarah.
Sejarah
sebagai satu konstruksi merupakan satu kesatuan yang koheren (adanya saling
keterkaitan antar unsur-unsur yang membentuk kesatuan) Periodisasi atau pembabakan waktu adalah salah
satu proses strukturasi waktu dengan pembagian atas beberapa babak, zaman, atau
periode berdasarkan kriteria tertentu, seperti ciri-ciri khas yang ada pada
periode tertentu.
Rekonstruksi
sejarah dimulai dari tradisi lisan, yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya yang kemungkinan kenbenaran yang didapat dikemudian hari
mengambang. Kemudian bersama dengan
perkembangan zaman kemudian peristiwa masa lampau dibukukan yang menjadi lebih
mantap karena tidak mengalami perubahan. Apabila pelbagai pola kelakuaan dalam
peradaban dibakukan dalam bentuk lembaga dan tradisi, maka ungkapan-ungkapan
tentang pengalaman individu dan kelompok di masa lampau dilembagakan sebagai
penulisan sejarah.
Dalam
penyusunan cerita sejarah struktur logis yang harus diikuti harus meliputi 10
urutan yang dimulai dari pengaturan kronologis sampai kepada penyusunan cerita
berdasarkan deskripsi-analitis . Selanjutnya, dijelaskan bahwa di dalam
historiografi Indonesia, antara lain dalam Babad Tanah Jawi, juga
terdapat pembagian zaman yang dimulai dari zaman nabi-nabi, zaman munculnya
tokoh-tokoh pewayangan, mitis, lalu diikuti zaman kerajaan-kerajaan. Kesemuanya
itu merupakan bentuk-bentuk periodisasi sebagai usaha menstrukturasi waktu.
Dalam historiografi
Barat, periodisasi yang amat populer ialah yang disusun oleh Cellarius
(1638-1707). Pembabakan Sejarah Barat atas tiga periode menurutnya adalah: (1)
Zaman Kuno (-500); (2) Abad Pertengahan (500-1500); dan Zaman Modern (sejak
1500).
Dalam
sejarah politik, ada kebiasaan membuat periodisasi berdasarkan pemilihan
caesuur (penetapan pemisahan) pada tahun peristiwa penting, antara lain akhir
perang, awal revolusi, awal suatu periode pemerintahan, dan sebagainya.
Misalnya Revolusi Prancis (1789) dianggap sebagai awal periode moderen,
ditinggalkannya monarki absolut dan dimulainya periode liberalisme, demokrasi,
dan nasionalisme.
Setiap
unit sejarah senantiasa memiliki lingkup temporal dan spasial (waktu dan
ruang). Ruang lingkup temporal mempunyai batasan yaitu awal perkembangan gejala
sejarah dan akhirnya, misalnya dalam biografi kelahiran dan kematian seorang
tokoh. Ruang lingkup spasial juga memiliki batasan, misalnya dalam sejarah
perang ialah seluruh wilayah yang dipakai sebagai medan perang. Untuk suatu
negara, batasan spasialnya ialah wilayah kekuasaannya. Sehubungan dengan hal
tersebut, ilmu sejarah memerlukan bantuan geografi.
Konsep
sistem banyak dipakai dalam ilmu sosial yang mempunyai perspektif sinkronis
terhadap suatu gejala. Sementara di dalam sejarah, konsep sistem hanya dipakai
sebagai alat analisis dan sintesis, terutama dalam menunjukkan saling hubungan
antara unsur-unsur atau dimensi-dimensi yaitu bagaimana saling
pengaruh-mempengaruhi antara faktor ekonomi, sosial, politik dan kultural.
Pelacakan bagaimana terjadinya atau jalannya perkembangan di masa lampau
dilakukan dengan pendekatan diakronis.
Apabila
objek studi sejarah ditujukan pada suatu masyarakat atau lembaga sosial, maka
untuk melacak perkembangan historis strukturnya diperlukan pendekatan sinkronis
dan diakronis. Contoh: Bagaimana struktur feodal masyarakat abad pertengahan di
Eropa kemudian berubah menjadi masyarakat abad ke-19 dengan kelas menengah atau
kaum borjuis yang mempunyai kedudukan penting? Disini sejarah struktural dengan
pendekatan rangkap dapat melakukan analisis dan mengungkapkan perubahan
sosialnya.
Seringkali
Present-mindedness menjadi panduan untuk menyeleksi permasalahan di masa
lampau. Melaksanakan pandangan masa kini sebagai alat pengukur tentang masa lampau
sebaiknya dihindari. Contoh: Negara Majapahit dipandang sebagai negara
nasional. Disini konsep negara nasional yang moderen diterapkan atas kerajaan
kuno, tidak disadari bahwa struktur dan sistem politiknya sangat berbeda. Oleh
karena itu, sejarawan perlu memiliki historical-mindedness, yakni
kemampuan untuk menempatkan suatu gejala sejarah sesuai dengan suasana dan
iklim kebudayaan masanya, sehingga dapat dihindari kesalahan yang disebut anakronisma,
yakni mencampurbaurkan zaman suatu gejala dengan zaman lain.
Dalam
menghadapi gejala-gejala sejarah yang beraneka ragam tetapi menunjukkan
kemiripan, perlu diadakan kategorisasi, penggolongan atau tipologisasi,
misalnya kota-kota pelabuhan, pemberontakan petani, kota-kota dan lain-lain.
Peranan
ilmu sosial dalam penyeleksian data dan fakta, terutama teori-teori dan
konsep-konsepnya sangat penting. Kedua jenis alat analitis itu memudahkan kita
mengatur seluruh substansi penulisan naratif dengan segala unsur-unsurnya
seperti fakta, subfakta, struktur dan proses, faktor-faktor, dan lain lain.
Tanpa kerangka teoretis dan konseptual tidak ada butir-butir referensi untuk
membentuk naratif, eksplanasi dan argumentasi.
Multidimensionalitas
gejala sejarah perlu ditampilkan agar gambaran menjadi lebih bulat dan menyeluruh
sehingga dapat dihindari kesepihakan atau determinisme. Yang penting dari
implikasi metodologis ini ialah bahwa pengungkapan dimensi-dimensi memerlukan
pendekatan yang lebih kompleks yakni pendekatan multidimensional. Sejarawan
yang akan menerapkan metodologi ini perlu menguasai pelbagai alat analitis yang
dipinjam dari ilmu sosial.
Dalam
penulisan sejarah lazim dibedakan menjadi dua macam sejarah yaitu (1) Sejarah
prosesual (sejarah deskriptif-naratif), ialah penulisan sejarah yang
menggambarkan kejadian sebagai proses, yang dicakup dalam uraian naratif atau
cerita untuk mengungkapkan bagaimana suatu peristiwa terjadi, lengkap dengan
fakta-fakta tentang “apa”, “siapa”, “kapan”, dan “dimana”; (2) Sejarah
struktural (sejarah deskriptif-analitis), ialah penulisan sejarah yang
menerangkan kausalitasnya atau menjawab pertanyaan “mengapa”.
F.
Braudel (seorang sejarawan) menyebut sejarah struktural dengan istilah “sejarah
jangka panjang” (longue durÄ›e) karena mencakup perubahan struktur
masyarakat dan lingkungan yang terjadi secara lambat laun. Menurut dia, di
antara sejarah prosesual dan sejarah struktural terdapat sejarah konjunktural (conjuncture)
yang menggambarkan “gelombang” gerakan perkembangan sejarah, terutama di bidang
sejarah ekonomi, antara lain dengan gerakan tingkat harga-harga, fluktuasi
produksi, dan sebagainya. Penulisan sejarah konjunktur dan struktural bersifat
analitis dan perlu mempergunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial beserta teorinya.
Menurut
mazhab L. Von Ranke pada akhir abad ke-19 penulisan sejarah tidak lagi
dilakukan secara konvensional, yaitu sejarah yang empiris positif dalam bentuk
deskriptif-naratif, tetapi perlu lebih banyak diterapkan penulisan sejarah
deskriptif-analitis dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial atau multidimensional.
BAB III. SEJARAH DAN ILMU SOSIAL
Pada bab ketiga ini, penjelasan tentang hubungan
antara sejarah dengan ilmu social dimulai dari 4 alasan Sartono Kartodirdjo
tentang kedekatan antara ilmu
sejarah dengan ilmu-ilmu social, membahas mengenai perbedaan ilmu eksakta
(alam) dengan ilmu kemanusiaan (humaniora).
Kedudukan
sejarah dan ilmu-ilmu sosial (bahasa, geografi, ekonomi, sosiologi, ilmu
politik, antropologi) adalah saling memerlukan dan saling memberikan
kontribusi. Dalam hal ini, penelitian dan penulisan sejarah senantiasa
memerlukan bahasa sebagai sarana primer untuk mengungkapkan data, analisis, dan
kesimpulan yang terkait dengan seluruh aspek yang terkait dengan manusia dan
waktunya.
Penyajian
hasil penelitian sejarah dalam tulisan disajikan dengan memenuhi hal-hal
berikut:
1)
Generalisasi
dicapai lewat analisis, sedangkan gambaran yang khusus diperoleh lewat narasi.
Generalisasi lebih bersifat kuantitatif sedangkan gambaran khusus lebih
kualitatif. Hubungan antara pelbagai gejala ditentukan berdasarkan hubungan
kausalitas, jadi terumuskan sebagai eksplanasi, sedangkan hubungan kualitatif
dirumuskan dengan menggunakan interpretasi (tafsiran).
2)
Rapprochement
antara ilmu sosial dan sejarah terutama terwujud pada perubahan metodologi.
Pembaruan metodologi tahap pertama terjadi karena pengaruh ilmu diplomatik
sejak Mabillon, sedangkan pembaruan tahap kedua terjadi karena pengaruh ilmu
sosial.
Implikasi
besar dari perkembangan itu ialah bahwa setiap research design memerlukan
kerangka referensi yang bulat, yaitu memuat alat-alat analitis yang akan
meningkatkan kemampuan untuk menggarap data. Oleh karena itu, pengkajian
sejarah memerlukan teori dan metodologi.
Ruang di
dalam geografi distrukturasikan berdasarkan fungsi-fungsi yang dijalankan menurut
tujuan atau kepentingan manusia selaku pemakai. Unit-unit fisik yang dibangun
menjadi unsur struktural fungsional dalam sistem tertentu, ekonomi, sosial,
politik, dan kultural. Struktur dan fungsi bermakna di dalam konteks tertentu,
yaitu tidak terlepas dari jiwa zaman atau gaya hidup masanya.
Pada
hakikatnya sejarah dan antropologi mempelajari objek yang sama, yakni tiga
jenis fakta: artifact, socifact dan mentifact. Artifact
sebagai benda fisik adalah konkret dan merupakan hasil buatan. Artifact menunjuk
kepada proses pembuatan yang telah terjadi di masa lampau. Socifact menunjuk
kepada kejadian sosial (interaksi antar aktor, proses aktifitas kolektif) yang
telah mengkristalisasi sebagai pranata, lembaga, organisasi, dan sebagainya.
Untuk memahami struktur dan karakteristik socifact perlu dilacak
asal-usulnya, proses pertumbuhannya sampai wujud sekarang. Artinya, segala
sesuatu dan keadaan yang kita hadapi dewasa ini tidak lain ialah produk dari
perkembangan di masa lampau, yakni produk sejarah.
BAB IV. KATEGORI PENULISAN SEJARAH
Pada bab
ke-empat ini dipaparkan mengenai kategori-kategori sejarah yang berkembang saat
ini, dimulai dari Sejarah Social, Sejarah Mentalias, Sejarah Politik, Sejarah Intelektual,
Sejarah Agraria, Sejarah Kebudayaan.
Secara
mendalam, Sartono Kartodirdjo menjelaskan tentang pengertian dari masing-masing
kategori sejarah tersebut dan menjelaskan sejarah apa saja yang ada di
dalamnya.
a.
Dalam
sejarah social, dijelaskan tentang pengertian sejarah social, paradigm
perubahan sosial dan beberapa teori tentang modernisasi
b.
Dalam
sejarah politik, dipaparkan tentankategori penulisan sejarah yang disesuaikan
dengan zamannya. Gagasan menulis sejarah
sosial muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap dominasi sejarah politik
selama abad ke-19. Herodotus menulis sejarah perang Parsi yang mencakup segala
aspek kehidupan masyarakat Athena, mulai dari aspek ekonomi, sosial, politik
sampai segi kultural. Trevelyan, pengarang English Social History, melukiskan
pelbagai keseluruhan sejarah masyarakat tanpa mencantumkan perkembangan
kehidupan politik.
Max Weber dan Emile Durkheim
dalam karya-karya awalnya menulis tentang pelbagai aspek perkembangan
masyarakat, mengikuti jejak gurunya masing-masing, ialah K. Lamprecht dan
Fustel de Coulange. Marc Bloch dan Febvre beserta mazhabnya “Annales”
menulis sejarah sosial dengan menerbitkan Feudal Society.
Di Amerika Serikat, Turner
menjadi pelopor dengan karyanya tentang penafsiran ekonomis UUD Amerika. Kemudian
pada tahun dua puluhan Robinson menonjolkan The New History, yakni
sejarah yang ditulis dengan pendekatan yang meliputi pelbagai aspek kehidupan
masyarakat.
Dalam abad ke-19, sejarah politik
sangat menonjol sehingga dikenal sebagai abad nasionalisme dan formasi negara
nasional di Eropa Barat. Sejarah politik abad ini diawali oleh Thucydides yang
menulis Perang Peloponesia, dan sejak saat itu tradisi penulisan sejarah
didominasi oleh sejarah politik.
c.
Selanjutnya
dalam Sejarah Mentalitas dicontohkan
tentang sejarah yang ditulis oleh Voltaire, seorang filsuf Prancis (1694-1778)
menulis sejarah kebudayaan dunia pertama dengan judul Essai sur les moeur et
l’esprit des nations (karangan tentang adat-istiadat dan jiwa
bangsa-bangsa). Disini dipakai istilah “jiwa” tidak lain untuk mencakup konsep
mentalitas, semangat atau etos dari bangsa-bangsa.
d.
Sejarah
Intelektual, pada pembahasan sejarah intelektual ini dipaparkan mengenai
perbedaan tiga jenis fakta dalam sejarah yaitu artifact, sociodact dan
mentifact. Menurutnya kesadaran adalah realitas primer, kesadaran lain yang
muncul adalah dari realitas primer tersebut.
Masalah kesadaran merupakan
faktor terpenting sebagai faktor penggerak atau pencipta fakta-fakta sejarah
yang lain sebagai contoh revolusi, pemberontakan, perang dan lain sebagainya.
Mentalitas sebagai suatu kompleks
sifat-sifat sekelompok manusia menonjolkan watak tertentuyang dimanifestasikan
sebagai sikap atau gaya hidup tertentu.
e.
Sejarah
Agraria, dipaparkan mengenai sejarah pedesaan dan pertanian, rajasentrisme
versus sejarah pedesaan, perkembangan disiplin sejarah, sejarah pertanian, dan
sejarah pedesaan, peranan petani, dan sejarah pedesaan di Indonesia.
0 comments:
Posting Komentar